Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia
Pusat Bahasa
Departemen Pendidikan Nasional
2000
KATA PENGANTAR CETAKAN KETIGA
Buku Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (Khusus Bahan Penyuluhan) cetakan I dan II telah habis dibagikan kepada para peserta kegiatan Pemasyarakatan Bahasa Indonesia di berbagai instansi di Indonesia. Oleh karena itu, buku ini dicetak ulang dengan penerbitan kesalahan cetak yang terdapat pada cetakan sebelumnya.
Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Indonesia serta bagi masyarakat luas.
Jakarta, 1 Agustus 2000
Hasan Alwi
Kepala Pusat Bahasa
KEPUTUSAN
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA
No. 054a/U/1987
Tentang
Penyempurnaan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan”
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Membaca :Surat Kepala Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 6 Desembar 1986 No.
5965/F8/U1.7/86.
Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal
27 Agustus 1975 No. 0196/U/1975 telah ditetapkan peresmian berlakunya “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” dan “Pedoman Umum Pembentukan Istilah”;
b.bahwa sesungguhnya bahasa itu senantiasa berubah dan berkembang sesuai dengan kehiduoan masyarakat;
c. bahwa sesungguhnya dengan hal tersebut pada sub a dan b, dipndang perlu menetapkan penyempurnaan “Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan’.
Mengingat : 1. Keputusan Presiden Republik Indonesia:
a. Nomor 44 Tahun 1974;
b. Nomor 52 Tahun 1975;
c. Nomor 45/M Tahun 1983;
d. Nomor 15 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah/ditambah terakhir dengan keputusan Presiden Republik Indonesia No. 4
Tahun 1987;
e. Nomor 138/M Tahun 1985;
2. Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus
1975 No. 0196/U/1975.
MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Pertama : Menyempurnakan ‘Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan” sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975
No.0196/U/1975 menjadi sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Keputusan ini.
Kedua : Hal-hal yang belum diatur dalam Keputusan ini akan diatur lebih lanjut dalam ketentuan tersendiri.
Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Tanggal 9 September 1987
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
Fuad Hasan
PRAKATA
Sejak peraturan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin ditetapkan pada tahun 1901 berdasarkan rancangan Ch. A. van Ophuysen dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, penyempurnaannya berkali-kali diusahakan. Pada tahun 1938, selama Kongres Bahasa Indonesia yang pertama kali di Solo, misalnya disarankan agar ejaan Indonesia lebih banyak diinternasionalkan.
Pada tahun 1947 Soewandi, Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu, menetapkan dalam surat keputusannya tanggal 19 Maret 1947, No. 264/Bhg. A bahwa perubahan ejaan bahasa Indonesia dengan maksud membuat ejaan yang berlaku menjadi lebih sederhana. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan Ejaan Republik. Beberapa usul yang diajukan oleh panitia menteri itu belum dapat diterima karena masih harus dirinjau lebih jauh lagi. Namun, sebagai langkah utama dalam usaha penyederhanaan dan penyelarasan ejaan dengan perkembagan bahasa, keputusan Soewandi pada masa pergolakan revolusi itu mendapat sambutan baik.
Kongres Bahasa Indonesia Kedua, yang diprakarsai Menteri Moehammad Yamin, diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Masalah ejaan timbul lagi sebagai salah satu mata pertemuan itu. kongres itu mengambil keputusan supaya ada badan yang menyusun peratura ejaan yang praktis bagi bahasa Indonesia. Panitia yang dimaksud (Priyono-Katoppo, Ketua) yang dibentuk oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 19 Juli 1956, No. 44876/S, berhasil merumuskan patokan-patokan baru pada tahun 1957 setelah bekerja selama setahun.
Tindak lanjut perjanjian persahabatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1959, antara lain berupa usaha mempersamakan ejaan bahasa kedua Negara ini. Maka pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmuljana-Syed Nasir bin Ismail, Ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya megurungkan peresmiannya.
Sesuai dengan laju pengembangan nasional, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan yang pada tahun 1968 menjadi Lembaga Bahasa Nasional, dan akhirnya pada tahun 1975 menjadi Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, menyusun program pembakuan bahasa Indonesia secara menyeluruh. Di dalam hubungan ini, panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (A.M. Moeliono, ketua) yang disahkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto, sejak tahun 1966 dalam surat keputusannya tanggal 19
September 1967, No. 062/1967, menyusun konsep yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang terdahulu. Konsep itu ditanggapi dan dikaji leh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun.
Atas permintaan ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi (KOTI), rancangan peraturan ejaan tersebut dipakai sebagai bahan oleh tim Ahli Bahasa KOTI yang dibentuk oleh ketua Gabungan V KOTI dengan surat Keputusannya tanggal 21 Februari 1967, No. 011/G-5/II/
1967 (S.W. Rujianti Mulyadi, Ketua) dalam pembicaraan mengenai ejaan dengan pihak Malaysia di Jakarta pada tahun 1966 dan di Kuala Lumpur pada tahun 1967.
Dalam Komite Bersama yang dikeluarkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Mashuri, dan Menteri Pelajaran Malaysia, Hussen Onn, pada tahun 1972 rancangan tersebut disetujui untuk dijadikan bahan dalam usaha bersama di dalam pengembangan bahasa nasional kedua negara.
Setelah rancangan itu akhirnya dilengkapi di dalam Seminar Bahasa Indonesia di Puncak pada tahu 1972, dan diperkenalkan secara luas oleh sebuah panitia antardepartemen (Ida Bagus Mantra, Ketua dan Lukman Ali, Ketua Kelompok Teknis Bahasa) yang ditetapkan dengan surat keputusan Menteri pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972, No. 03/A.I/72, maka pada hari Proklamasi Kemerdekaan tahun itu juga diresmikanlah aturan ejaan yang baru itu berdasarkan keputusan Presiden No. 57, tahun 1972, dengan nama Ejaan yang Disempurnakan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebar buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, sebagai patokan pemakaian ejaan itu.
Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran
Halim, Ketua), menyusun buku Pedoman Umum ini yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas.
Penyusunan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan ini telah dimungkinkan oleh tersedianya biaya Pelita II yang disalurkan melalui Proyek Pengembangan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (S.W. Rujiati Mulyadi, Ketua). Pencetakan Pedoman Umum ini dilaksanakan oleh Proyek Penulisan dan Penerbitan Buku/Majalah Pengetahuan dan Profesi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kepada segenap instansi, kalangan masyarakat, dan perorangan yang telah memungkinkan tersusunnya Pedoman Umum ini disampaikan penghargaan dan terima kasih.
Jakarta, Agustus 1975
Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Pusat Pembinaan dan Pengembagan Bahasa DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
I. PEMAKAIAN HURUF
A. Huruf Abjad
Abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf yang berikut. Nama huruf disertakan di sebelahnya.
Huruf Nama Huruf Nama Huruf Nama
A a
B b C c D d E e F f G g H h I i a
be ce de e ef ge ha i J j
K k L l M m N n O o P p Q q R r Je
ka el em en o pe ki er S s
T t U u V v W w X x Y y Z z es
te u ve we
eks ye
zet
B. Huruf Vokal
Huruf yang melambangkan vokal dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf a, e, i, o,dan u.
huruf contoh pemakaian dalam kata vokal di awal di tengah di akhir
lusa
a api padi
e enak petak emas kena
i itu simpan o oleh kota
sore tipe murni radio
u ulang bumi
ibu
* Dalam pengajaran lafal kata, dapat digunakan tanda aksen jika ejaan kata menimbulkan keraguan.
Misalnya: Anak-anak bermain di teras (téras).
Upacara itu dihadiri pejabat teras pemerintah. Kami menonoton film seri (séri).
Pertandingan iru berakhir seri.
C. Huruf Konsonan
Huruf yang melambangkan konsonan dalam bahasa Indonesia terdiri atas huruf-huruf b, c, d, f, g, h, j, k, l, m, n, p, q, r, s, t, v, w, x, y, dan z.
* Huruf k di sini melambangkan bunyi hamzah.
** Khusus untuk nama dan keperluan ilmu.
D. Huruf diftong
Di dalam bahasa Indonesia terdapat diftong yang dilambangkan dengan ai, au, dan oi.
E. Gabungan Huruf Konsonan
Di dalam bahasa Indonesia terdapat empat gabungan huruf yang melambangkan konsonan, yaitu kh, ng, ny, dan sy. Masing-masing melambangkan satu bunyi konsonan.
F. Pemenggalan Kata
1. Pemenggalan kata pada kata dasar dilakukan sebagai berikut.
a. Jika di tengah kata ada vokal yang berurutan, pemenggalan itu
dilakukan di antara kedua huruf vokal itu.
Misalnya:
au-la bukan a-u-la
sau-dara bukan sa-u-da-ra am-boi bukan am-bo-i
b. Jika di tengah kata ada huruf konsonan, termasuk gabungan huruf konsonan, di antara dua buah huruf vokal, pemenggalan dilakukan sebelum huruf konsonan.
Misalnya:
ba-pak, ba-rang, su-lit, la-wan, de-ngan, ke-nyang, mu-ta-khir
c. Jikan di tengah ada dua huruf konsonan yang berurutan, pemenggalan dilakukan di antara kedua huruf konsonan itu. gabungan huruf konsonan tidak pernah diceraikan.
Misalnya:
man-di, som-bong, swas-ta, ca-plok Ap-ril, bang-sa, makh-luk
d. Jika di tengah kata ada tiga buah huruf konsonan atau lebih, pemenggalan dilakukan di antara huruf konsonan yang pertama dan huruf konsonan yang kedua.
Misalnya:
in-stru-men, ul-tra, in-fra, bang-krut, ben-trok ikh-las
2. Imbuhan akhiran dan imbuhan aalan, termasuk awalan yang mengalami perubahan bentuk serta partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dapat dipenggal pada pergantian baris.
Misalnya:
makan-an, me-rasa-kan, mem-bantu, pergi-lah
Catatan:
a. Bentuk dasar pada kata turunan sedapat-dapatnya tidak dipenggal.
b. Akhiran -i tidak dipenggal. (Lihat juga keterangan tentang tanda hubung, Bab V, Pasal E, Ayat 1.)
c. Pada kata yang berimbuhan sisipan, pemenggalan kata dilakukan sebagai berikut.
Misalnya: te-lun-juk, si-nam-bung, ge-li-gi
3. Jika suatu kata terdiri atas lebih dari satu unsur dan salah satu unsur itu dapat bergabung dengan unsur lain, pemenggalan dapat dilakukan (1) di antara unsur-unsur itu atau (2) pada unsur gabungan itu sesuai dengan kaidah 1a, 1b, 1c dan 1d di atas.
Misalnya:
Bio-grafi, bi-o-gra-fi Foto-grafi, fo-to-gra-fi Intro-speksi, in-tro-spek-si Kilo-gram, ki-lo-gram
Pasca-panen, pas-ca-pa-nen
Keterangan:
Nama orang, badan hukum, dan nama dari yang lain disesuaikan dengan Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, kecuali jika ada pertimbangan khusus.
II. PEMAKAIAN HURUF KAPITAL DAN HURUF MIRING
A. Huruf Kapital atau Huruf Besar
1. Huruf kapital atau huruf besar dipakai sebagai unsur pertama kata pada awal kalimat.
Misalnya:
Dia mengantuk.
Apa maksudnya?
Kita harus beker keras.
Pekerjaan itu belum selesai.
2. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama petikan langsung.
Misalnya:
Adik bertanya, “Kapan kita pulang?”
Bapak menasihatkan, “Berhati-hatilah, Nak!” “Kemarin engkau terlambat,” katanya.
“Besok pagi,” kata ibu, “dia akan berangkat”.
3. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan dan Kitab Suci, termasuk kata ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
Allah, Yang Mahakuasa, Yang Maha Pengasih, Alkitab, Quran, Weda, Islam, Kristen.
Tuhan akan menunjukkan jalan kepada hamba-Nya
Bimbinglah hamba-Mu, ya Tuhan, ke jalan yang Engkau beri rahmat.
4. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar kehormatan, keturunan, dan keagamaan yang diikuti nama orang.
Misalnya:
Mahaputra Yamin, Sultan Hasanuddin, Haji Agus Salim, Imam Syafii, Nabi Ibrahim. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti
nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertetu, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Dia baru saja diangkat menjadi sultan. Tahun ini dia pergi naik haji.
5. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Wakil Presiden Adam Malik, Perdana Menteri Nehru, Profesor Supomo, Laksamana Muda Udara Husein Sastranegara, Sekretaris Jenderal Departemen Pertanian, Gubernur Irian Jaya.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama jabatan dan pangkat yang tidak diikuti nama orang, nama instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Siapakah gubernur yang baru dilantik itu?
Kemarin Brigadir Jenderal Ahmad dilantik menjadi mayor jenderal.
6. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur-unsur nama orang.
Misalnya:
Amir Hamzah, Dewi Sartika, Wage Rudolf Supratman, Halim Perdanakusumah. Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang digunakan sebagai
nama jenis atau satuan ukuran. Misalnya:
Mesin diesel, 10 volt, 5 ampere
7. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
Misalnya:
Bangsa Indonesia, suku Sunda, bahasa Inggris
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan.
Misalnya:
Mengindonesiakan kata asing
Keinggris-inggrisan
8. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, hari raya,, dan peristiwa sejarah.
Misalnya:
tahun Hijriah, tarikh Masehi, bulan Agustus, bulan Maulid, hari Jumat, hari Galungan, hari Lebaran, hari Natal, Perang Candu, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipkai sebagai nama.
Misalnya:
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsanya. Perlombaan senjata membawa resiko pecahnya perang dunia.
9. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya:
Asia Tenggara, Banyuwangi, Bukit Barisan, Cirebon, Danau Toba, Dataran Tinggi Dieng, Gunung Semeru, Jalan Diponegoro, Jazirah Arab, Kali Brantas, Lembah Baliem, Ngarai Sianok, Pegunungan Jayawijaya, Selat Lombok, Tanjung Harapan, Teluk Benggala, Terusan Suez.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama istilah geografi yang tidak menjadi
unsur nama diri. Misalnya:
berlayar ke teluk, mandi di kali, menyeberabangi selat, pergi ke arah tenggara
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama geografi yang digunakan sebagai nama jenis.
Misalnya:
garam inggris, gula jawa, kacang bogor, pisang ambon
10. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua unsur nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta nama dokumen resmi, kecuali kata seperti dan.
Misalnya:
Republik Indonesia; Majelis Permusyawaratan Rakyat; Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Badan Kesejahteraan Ibu dan Anak; Keputusan Presiden Republik Indonesia, Nomor 57, Tahun 1972.
Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata yang bukan nama negara, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan, serta nama dokumen resmi.
Misalnya:
Menjadi sebuah republik, beberapa badan hukum, kerja sama antara pemerintah dan rakyat, menurut undang-undang yang berlaku.
11. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan, lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi.
Misalnya:
Perserikatan Bangsa-Bangsa, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Undang-Undang Dasar
Repulik Indonesia, Rancangan Undang-Undang Kepegawaian
12. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur kata ulang sempurna) di dalam nama buku, majalah, surat kabar dan judul karangan, kecuali kata seperti di, ke, dari, dan, yang, untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Bacalah majalah Bahasa dan Sastra.
Dia adalah agen surat kabar Sinar Pembangunan.
Ia menyelesaikan makalah “Asas-Asas Hukum Perdata”.
13. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat, dan sapaan.
Misalnya:
Dr. doctor
M.A. master of arts S.E. sarjana ekonomi S.H. sarjana hukum S.S. sarjana sastra Prof. professor
Tn. Tuan Ny. Nyonya Sdr. saudara
14. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama penunjuk hubungan kekerabatan seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman yang dipakai dalam penyapaan dan pengacuan.
Misalnya:
“Kapan Bapak Berangkat?” tanya Harto.
Adik bertanya, “Itu apa, Bu?” Surat Saudara sudah saya terima. “Silakan duduk, Dik!” kata Ucok. Besok Paman akan datang.
Mereka pergi ke rumah Pak Camat. Para ibu mengunjungi Ibu Hasan.
Huruf capital tidak dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kkerabatan yang tidak dipakai dalam pengacuan atau penyapaan.
Misalnya:
Kita semua harus menghormati bapak dan ibu kita. Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
15. Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata ganti Anda.
Misalnya:
Sudahkah Anda tahu?
Surat Anda telah kami terima.
B. Huruf Miring
1. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah dan surat kabar yang dikutip dalam tulisan.
Misalnya:
majalah Bahasa dan Sastra, buku Negarakertagama karangan Prapanca, surat kabar Suara Rakyat.
2. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata.
Misalnya:
Huruf pertama kata abad adalah a. Dia buka menipu, tetapi ditipu.
Bab ini tidak membicarakan penulisan huruf kapital. Buatlah kalimat dengan berlepas tangan.
3. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah atau ungkapan asing, kecuali yang telah disesuaikan ejaannya.
Misalnya:
Nama ilmiah buah manggis ialah Carcinia mangostama. Politik devide et impera pernah merajalela di negeri ini. Weltanschauung antara lain diterjemahkan menjadi ‘pandangan dunia’
Tetapi:
Negara itu telah mengalami empat kali kudeta.
III. PENULISAN KATA
A. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan. Misalnya:
Ibu percaya bahwa engkau tahu. Kantor pajak penuh sesak.
Buku itu sangat tebal.
B. Kata Turunan
1. Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya.
Misalnya:
bergetar, dikelola, penetapan, menengok, mempermainkan.
2. Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya. (Lihat juga keterangan tentang tanda hubung, Bab V, Pasal E, Ayat 5.)
Misalnya:
bertepuk tangan, garis bawahi, menganak sungai, sebar luaskan.
3. Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsure gabungan kata itu ditulus serangkai. (Lihat juga keterangan tentang tanda hubung, Bab V, Pasal E, Ayat 5.)
Misalnya:
menggarisbawahi, menyebarluaskan, dilipatgandakan, penghancurleburan
4. Jika salah satu unsur gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya:
adipati, aerodinamika, antarkota, anumerta, audiogram, awahama, bikarbonat,
biokimia, caturtunggal, dasawarsa, dekameter, demoralisasi, dwiwarna,ekawarna, ekstrakurikuler, elektroteknik, infrastruktur, inkonvensional, introspeksi, kolonialisme, kosponsor, mahasiswa, mancanegara, multilateral, narapidana, nonkolaborasi, Pancasila, panteisme, paripurna, poligami, pramuniaga, prasangka, purnawirawan, reinkarnasi, saptakrida, semiprofessional, subseksi, swadaya, telepon, transmigrasi, tritunggal, ultramodern
catatan:
1) Jika bentuk terikat diikuti oleh kata yang huruf awalnya adalah huruf kapital, di antara kedua unsur itu harus dituliskan tanda hubung (-).
Misalnya:
non-Indonesia, pan-Afrikanisme
2) Jika kata maha sebagai unsur gabungan diikuti kata esa dan kata yang bukan kata dasar, gabungan itu ditulis terpisah.
Misalnya:
Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa melindungi kita. Marilah kita beersyukur kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
C. Kata Ulang
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung. Misalnya:
anak-anak, buku-buku, kuda-kuda, mata-mata, hati-hati, undang-undang, biri-biri, kupu- kupu, kura-kura, laba-laba, sia-sia, gerak-gerik hura-hura, lauk-pauk, mondar-mandir, ramah-tamah, sayur-mayur, centang-perenang, porak-poranda, tunggang-langgang, berjalan-jalan, dibesar-besarkan, menulis-nulis, terus-menerus, tukar-menukar,hulubalang-hulubalang, bumiputra-bumiputra
D. Gabungan Kata
1. Gabungan kata yang lazim disebuta kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur- unsurnya ditulis terpisah.
Misalnya:
duta besar, kambing hitam, kereta api cepat luar biasa, mata pelajaran, meja tulis, model linier, orang tua, persegi panjang, rumah sakit umum, simpang empat.
2. Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian unsur yang bersangkutan.
Misalnya:
Alat pandang-dengar, anak-istri saya, buku sejarah-baru, mesin-hitung tangan,
ibu-bapak kami, watt-jam, orang-tua muda.
3. Gabungan kata berikut ditulis serangkai.
Misalnya:
Adakalanya, akhirulkalam, Alhamdulillah, astaghfirullah, bagaimana, barangkali, bilamana, bismillah, beasiswa, belasungkawa, bumiputra, daripada, darmabakti, darmawisata, dukacita, halalbihalal, hulubalang, kacamata, kasatmata, kepada, karatabaasa, kilometer, manakala, manasuka, mangkubumi, matahari, olahraga, padahal, paramasastra, peribahasa, puspawarna, radioaktif, saptamarga, saputangan, saripati, sebagaimana, sediakala, segitiga, sekalipun, silaturrahmin, sukacita, sukarela, sukaria, syahbandar, titimangsa, wasalam
E. Kata Ganti -ku-, kau-, -mu, dan -nya
Kata ganti ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku-, -mu, dan -nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa yang kumiliki boleh kaumabil.
Bukuku, bukumu, dan bukunya tersimpan di perpustakaan.
F. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada. (Lihat juga Bab III, Pasal D, Ayat 3.)
Misalnya:
Kain itu terletak di dalam lemari. Bermalam sajalah di sini.
Di mana Siti sekarang? Mereka ada di rumah.
Ia ikut terjun di tengah kancah perjuangan.
Ke mana saja ia selama ini?
Kita perlu berpikir sepuluh tahun ke depan. Mari kita berangkat ke pasar.
Saya pergi ke sana-sini mencarinya. Ia datang dari Surabaya kemarin.
Catatan:
Kata-kata yang dicetak miring di bawah ini dtulis serangkai.
Si Amin lebih tua daripada si Ahmad. Kami percaya sepenuhnya kepadanya. Kesampingkan saja persoalan yang tidak penting itu. Ia masuk, lalu keluar lagi.
Surat perintah itu dikeluarkan di Jakarta pada tanggal 11 Maret 1966. Bawa kemari gambar itu.
Kemarikan buku itu.
Semua orang terkemuka di desa hadir dalam kenduri itu.
G. Kata Si dan Sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya. Misalnya:
Harimau itu marah sekali kepada sang Kancil. Surat itu dikirimkan kembali kepada si pengirim.
H. Partikel
1. Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Bacalah buku itu baik-baik.
Apakah yang tersirat dalam dalam surat itu? Jakarta adalah ibukota Republik Indonesia. Siapakah gerangan dia?
Apatah gunanya bersedih hati?
2. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya.
Misalnya:
Apa pun yang dimakannya, ia tetap kurus. Hendak pulang pun sudah tak ada kendaraan.
Jangankan dua kali, satu kali pun engkau belum pernah datang ke rumahku. Jika ayah pergi, adik pun ingin pergi.
Catatan:
Kelompok yang lazim dianggap padu, misalnya adapun, andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun, sungguhpun, walaupun ditulis serangkai.
Misalnya:
Adapun sebab-sebabnya belum diketahui.
Bagaimanapun juga akan dicobanya menyelesaikan tugas itu. Baik mahasiswa maupun mahasiswi ikut berdemonstrasi.
Sekalipun belum memuaskan, hasil pekerjaannya dapat dijadikan pegangan.
Walaupun miskin, ia selalu gembira.
3. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, dan ‘tiap’ ditulis terpisah dari bagian kalimat yang mendahului atau mengikutinya. Misalnya:
Pegawai negeri mendapat kenaikan gaji per 1 April. Mereka masuk ke dalam ruangan satu per satu. Harga kain itu Rp 2.000,00 per helai.
I. Singkatan dan Akronim
1. Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
a. Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
A.S Kramawijaya Muh. Yamin Suman Hs. Sukanto S.A.
M.B.A master of business administration
M.Sc. master of science S.E. sarjana ekonomi S.Kar. sarjana karawitan
S.K.M sarjana kesehatan masyarakat
Bpk. Bapak
Sdr. saudara
Kol. kolonel
b. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumentasi resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya:
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
PGRI Persatuan Guru Republik Indonesia GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara SMTP sekolah menengah tingkat pertama PT perseroan terbatas
KTP kartu tanda penduduk
c. Singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau lebih diikuti satu tanda titik.
Misalnya:
dll. dan lain-lain dsb. dan sebagainya dst. dan seterusnya hlm. halaman
sda. sama dengan atas
Yth. (Sdr. Moh. Hasan) Yang terhormat (Sdr. Moh. Hasan) Tetapi:
a.n. atas nama
d.a. dengan alamat u.b. untuk beliau u.p. untuk perhatian
d. Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
Misalnya:
Cu cuprum TNT trinitrotulen cm sentimeter
kVA kilovolt-ampere l liter
kg kilogram
Rp (5.000,00) (lima ribu) rupiah
2. Akronim kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
a. Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis selurhnya dengan huruf capital.
Misalnya:
ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
PASI Persatuan Atletik Seluruh Indonesia
IKIP Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
SIM surat izin mengemudi
b. Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kaptal.
Misalnya:
Akabri Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Iwapi Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia Kowani Kongres Wanita Indonesia
Sespa Sekolah Staf Pimpinan Administrasi
c. Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.
Misalnya:
pemilu pemilihan umum
radar radio detecting and ranging
rapim rapat pimpinan rudal peluru kendali tilang bukti pelanggaran
catatan:
jika dianggap perlu membentuk akronim, hendaknya diperhatikan syarat-syarat berikut. (1) Jumlah suku kata akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata Indonesia. (2) Akronim dibentuk dengan mengindahkan keserasian kombinasi vocal dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
J. Angka dan Lambang
1. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C (100), D (500), M (1000), V (5.000), M (1.000.000)
Pemakaiannya diatur leih lanjut dalam pasal-pasal yang berikut ini.
2. Angka digunakan untuk menyatakan (i) ukuran panjagng, berat, luas, dan isi, (ii) satuan waktu, (iii) nilai uang, dan (iv) kuantitas.
Misalnya:
0,5 sentimeter 1 jam 20 menit
5 kilogram pukul 15.00
4 meter persegi tahun 1928
10 liter 17 Agustus 1945
Rp5.000,00 50 dolar Amerika
US$3.50* 10 paun Inggris
$5.10* 100 yen
Y100 10 persen
2.000 rupiah 27 orang
* Tanda titik di sini merupakan tanda decimal.
3. Angka lazim dipakai untuk melambangka nomor jalan, rumah, apartemen, atau kamar pada alamat.
Misalnya:
Jalan Tanah Abang I No. 15
Hotel Indonesia, Kamar 169
4. Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
Misalnya:
Bab X, Pasal 5, halaman 252
Surah Yasin: 9
5. Penulisan lambang bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut. a. Bilangan utuh
Misalnya:
Dua belas 12
Dua puluh dua 22
Dua ratus dua puluh dua 222 b. Bilangan pecahan
Misalnya:
Setengah ½ Tiga perempat ¾ Seperenam belas 1/16
Tiga dua pertiga 3 2/3
Seperseratus 1/100
Satu persen 1 % Satu permil 1‰ Satu dua persepuluh 1,2
6. Penulisan lambang bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut.
Misalnya:
Paku Buwono X; pada awal abad XX; dalamkehidupan abad ke-20 ini; lihan Bab II; Pasal 5; dalam bab ke-2 buku itu; di daerah tingkat II itu; di tingkat kedua gedung itu; di tingkat ke-2 itu; kantor di tingkat II itu.
7. Penulisan lambang bilangan yang mendapat akhiran -an mengikuti cara yang berikut. (Lihat juga keterangan tentang tanda hubung, Bab V, Pasal E, Ayat 5.)
Misalnya:
tahun ’50-an atau tahun lima puluhan uang 5000-an atau uang lima ribuan lima uang 1.000-an atau lima uang seribuan
8. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan huruf, kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam perincian dan pemaparan.
Misalnya:
Amir menonton drama itu sampai tiga kali. Ayah memesan tiga ratus ekor ayam.
Di antara 72 anggota yang hadir, 52 orang setuju, 15 orang tidak setuju, dan 5
orang memberikan suara blangko.
Kendaraan yang ditempah untuk pengangkutan umum terdiri atas 50 bus, 100
helicak, 100 bemo.
9. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan kalimat diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Lima belas orang tewas dalam kecelakaan itu. Pak Darmo mengundang 250 orang tamu
Bukan:
15 orang tews dalam kecelakaan itu.
Dua ratus lima puluh orang tamu diundang Pak Darmo.
10. Angka yang menunjukkan bilangan utuh secara besar dapat dieja
Misalnya:
Perusahaan itu baru saja mendapat pinjaman 250 juta rupiah. Penduduk Indonesia brjumlah lebi dari 200 juta orang.
11. Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks, kecuali did lam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
Misalnya:
Kantor kami mempunyai dua puluh orang pegawai. Di lemari itu tersimpan 805 buku dan majalah.
Bukan:
Kantor kami mempunyai 20 (dua puluh) orang pgawai.
Di lemari itu tersimpan 805 (delapan ratus lima) buku dan majalah.
12. Jika bilangan dilambangkan dengan angka dan huruf, penulisannya harus tepat.
Misalnya:
Saya lamirkan tanda terima uang sebesar Rp999,75 (Sembilan ratus Sembilan puluh Sembilan dan tujh puluh lima perseratus rupiah).
Bukan:
Saya lampirkan tanda terima uang sebesar 999,75 (Sembilan ratus Sembilan puluh
Sembilan dan tujuh puluh lima perseratus) rupiah.
IV. PENULISAN UNSUR SERAPAN
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari pelbagai bahasa lain, baik dari bahasa daerah maupun dari bahasa asing, seperti Sansekerta, Arab, Portugis, Belanda, atau Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsure pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur pinjaman yang belum sepenuhnya terserap ke dalam
bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, l’axplanation de l’homme. Unsur-unsur yang dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur pinjaman yang pengucapan dan penulisannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini diusahakan agar ejaannya hanya diubah seperlunya sehingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk asalnya.
Kaidah ejaan yang berlaku bagi unsure serapan itu sebagai berikut.
aa (Belanda) menjadi a
paal pal baal bal actaaf oktaf
ae tetap ae jika tidak bervariasi dengan e aerob aerob aerodimanics aerodonamika
ae, jika bervariasi dengan e, menjadi e haemoglobin hemoglobin haematite hematit
ai tetap ai
trailer trailer caisson kaison
au tetap au
audiogram audiogram
autrotoph autrotof
tautomer tautomer hydraulic hidraulik caustic kaustik
c di muka a, u, o dan konsonan mejadi k calomel kalomel construction konstruksi cubic kubik
coup kup classification klasifikasi crystal kristal
c di muka e, i, oe, dan y menjadi s central sentral cent sen
cybernetics sibernetika circulation sirkulasi cylinder silinder ceolom selom
cc di muka o, u dan konsonan menjadi k accomodation akomodasi acculturation akulturasi acclimatization aklimatisasi
accumulation akumulasi acclamation aklamasi
cc di muka e dan i menjadi ks accent aksen accessory aksesori vaccine vaksin
cch dan ch di muka a, o dan konsonan menjadi k
saccharin sakarin charisma karisma cholera kolera chromosome kromosom technique teknik
ch yang lafalnya s atau sy menjadi s echelon eselon machine mesin
ch yang lafalnya c menjadi c check cek
\ China Cina
ç (Sanskerta) menjadi s
çabda sabda
çastra sastra
e tetap e
effect efek description deskripsi synthesis sintesis
ea tetap ea
idealist idealis habeas baheas
ee (Belanda) menjadi e
stratosfeer stratosfer systeem sistem
ei tetap ei
eicosane eikosan eidetic eidetik einsteinium einsteinium
eo tetap eo
stereo stereo geometry geometri zeolite zeolit
eu tetap eu
neutron neutron
eugenol eugenol
europium europium
f tetap f
fanatic fanatik factor factor fossil fosil
gh menjadi g
sorghum sorgum
gue menjadi ge
igue ige
gigue gige
i pada awal suku kata di muka vokal tetap i iambus iambus
ion ion
iota iota
ie (Belanda) menjadi i jika lafalnya i politiek politik riem rim
ie tetap ie jika lafalnya bukan i
variety varietas patient pasien afficient efisien
kh (Arab) tetap kh
khusus khusus akhir akhir
ng tetap ng
contingent kontingen congres kongres linguistics linguistik
oe (oi Yunani) menjadi e
oestrogen estrogen oenology enology foetus fetus
oo (Belanda) menjadi o
komfoor kompor provoost provos
oo (Inggris) menjadi u
cartoon kartun proof pruf
pool pul
oo (vokal ganda) tetap oo
zoology zoology coordination koordinasi
ou menjadi u jika lafalnya u
gouverneur gubernur coupon kupon contour kontur
ph menjadi f
phase fase physiology fisiologi spectograph spektograf
ps tetap ps
pseudo pseudo psychiatry psikiatri psychic psikis psychosomatic psikosomatik
pt tetap pt
pterosaur pterosaur pteridology pteridologi ptyalin ptyalin
q menjadi k
aquarium akuarium frequency frekuensi equator ekator
rh menjadi r
rhapsody rapsodi rhombus rombus rhythm ritme rhetoric retorika
sc di muka a, o, u, dan konsonan menjadi sk scandium skandium scoptopia skoptopia scutella skutela sclerosis sklerosis scriptie skripsi
sc di muka e, i, dan y menjadi s scenography senografi scintillation sintilasi scyphistoma sifistoma
sch di muka vokal menjadi sk
schema skema schizophrenia skizofrenia scholasticism skolastisisme
t di muka i menjadi s jika lafalnya s
ratio rasio
actie aksi patient pasien
th menjadi t
theocracy teokrasi orthography ortografi thiopental tiopental thrombosis trombosis methode (Belanda) metode
u tetap u
unit unit nucleolus nucleolus structure struktur institute institute
ua tetap ua
dualism dualism aquarium akuarium
ue tetap ue
suede sued duet duet
ui tetap ui
equinox ekuinoks
conduite konduite
uo tetap uo
fluorescein fluoresein quorum kuorum quota kuota
uu menjadi u
prematuur prematur vacuum vakum
v tetap v
vitamin vitamin television televisi cavalery kavaleri
x pada awal kata tetap x
xanthate xantat xenon xenon xylophone xilofon
xc di muka e dan i menjadi ks exception eksepsi excess ekses excision eksisi excitation eksitasi
xc di muka a, o, u, dan konsonan menjadi ksk excavation ekskavasi excommunication ekskomunikasi excursive ekskursif exclusive eksklusif
y tetap y jika lafalnya y
yakitori yakitori yangonin yangonin yen yen
yuan yuan
y manjadi y jika lafalnya i
yttrium itrium dynamo dinamo propyl propil psyschology psikologi
z tetap z
zenith zenith zirconium zirkonium zodiac zodiak zygote zigot
konsonan ganda menjadi tunggal, kecuali kalau dapat membingungkan.
Misalnya:
gabbro gabro commission komisi accu aki ferrum ferum effect efek salfeggio salfegio
Tetapi:
mass massa
Catatan:
1. Unsur pungutan yang sudah lazim dieja sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia tidak perlu lagi diubah.
Misalnya:
Kabar, sirsak, iklan, erlu, bengkel, hadir
2. Sekalipun dalam ejaan yang dismpurnakan huruf q dan x diterima sebagai bagian abjad bahasa Indonesia, unsur yang mengandung kedua huruf itu diindonesiakan menurut kaidah yang terurai di atas. Kedua huruf itu dipergunakan dalam penggunaan tertentu saja, seperti dalam pembedaan nama dan istilah khusus.
Di samping pegangan untuk penulisan unsur serapan tersebut di atas, berikut ini
didaftarkan juga akhiran-akhiran asing serta penyesuaiannya dalam bahasa Indonesia. Akhiran itu diserap sebagai bagian kata yang utuh. Kata seperti standarisasi, efektif, dan implementasi diserap secara utuh di samping kata standar, efek, dan implemen.
-aat (Belanda) menjadi -at
advocaat advokat
-age menjadi -ase
percentage persentase
etalage etalase
-al, -eel (Belanda), -aal (Belanda) menjadi -al structural, structureel structural formal, formeel formal normal, normaal normal
-ant menjadi -an
accountant akuntan
informant informan
-archy, -archie (Belanda) menjadi -arki anarchy, anarchie anarki oligarchy, oligarchie oligarki
-ary, -air (Belanda) menjadi -er
complementary, komplementer
complementair
primary, primair primer
secondary, secondair sekunder
-(a)tion, -(a)tie (Belanda) menjadi -asi, -as action, actie aksi publication, publicatie publikasi
-eel (Belanda) menjadi -el
ideëel ideel materieel materiel moreel morel
-ein tetap -ein
casein kasein
protein protein
-ic, -ics, ique, -iek, -ica (Belanda) menjadi -ik, -ika logic, logica logika phonetics, phonetiek fonetik physics, physica fisika dialectics, dialektica dialektika technique, techniek teknik
-ic, -isch (adjektiva Belanda) menjadi -ik electronic, elektronisch elektronik mechanic, mechanisch mekanik ballistic, ballistisch balistik
-ical, isch (Belanda) menjadi -is
economical, economisch ekonomis practical, practisch praktis logical, logisch logis
-ile, -iel menjadi -il
percentile, percentiel persenril
mobile, mobiel mobil
-ism, isme (Belanda) menjadi -isme
modernism, modernisme modernisme
communism, communisme komunisme
-ist menjadi -is
publicist publisis
egoist egois
-ive, -ief (Belanda) menjadi -if
descriptive, descriptief deskriptif
demonstrative, demonstratief demonstratif
-logue menjadi -log
catalogue catalog
dialogue dialog
-logy, -logie (Belanda) menjadi -logi technology, technologie teknologi physiology, physiologie fisiologi analogy, analogie analogi
-loog (Belanda) menjadi -log
analoog analog
epiloog epilog
-oid, -oide (Belanda) menjadi -oid
hominoid, hominoide hominoid
anthropoid, anthropoide anthropoid
-oir(e) menjadi -oar
trotoir trotoar
repertoire repertoar
-or, -eur (Belanda) menjadi -ur, -ir
director, directuer direktur inspector, inspectuer inspektur amateur amatir formateur formatur
-or tetap -or
dictator diktator
corrector korektor
-ty, -teit (Belanda) menjadi -tas
university, universiteit universitas
quality, kwaliteit kualitas
-ure, -uur (Belanda) menjadi -ur
structure, struktuur struktur
premature, prematuur prematur
V. PEMAKAIAN TANDA BACA
A. Tanda Titik (.)
1. Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan.
Misalnya:
Ayahku tinggal di Solo.
Biarlah mereka duduk di sana.
Dia menanyakan siapa yang akan datang. Hari ini tanggal 6 April 1973.
Marilah kita mengheningkan cipta.
Sudilah kiranya Saudara mengabulkan permohonan ini.
2. Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau daftar.
Misalnya:
a. III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat Jenderal Agraria
1. …
b. 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Ilustrasi
1.2.1 Gambar Tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
3. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan waktu.
Misalnya:
Pukul 1.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik)
4. Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan jangka waktu.
Misalnya:
1.35.20 jam (1 jam, 35 menit, 20 detik)
0.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
0.0.30 jam (30 detik)
5. Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka di antara nama penulis, judul tulisan yang tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit.
Misalnya:
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Weltevreden: Balai Poestaka.
6a. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya.
Misalnya:
Desa itu berpenduduk 24.200 orang.
Gempa yang terjadi semalam menewaskan 1.231 jiwa.
6b. Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang tidak menunjukkan jumlah.
Misalnya:
Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung. Lihat halaman 2345 seterusnya. Nomor gironya 5645678.
7. Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Misalnya:
Acara kunjungan Adam Malik
Bentuk dan Kedaulatan (Bab 1 UUD ’45) Salah Asuhan
8. Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal suat atau (2) nama dan alamat surat.
Misalnya:
Jalan Diponegoro 82 (tanpa titik) Jakarta (tanpa titik)
1 April 1985 (tanpa titik)
Yth. Sdr. Moh. Hasan (tanpa titik) Jalan Arif 43 (tanpa titik) Palembang (tanpa titik)
Atau:
Kantor Penempatan Tenaga (tanpa titik) Jalan Cikini 71 (tanpa titik)
Jakarta (tanpa titik)
B. Tanda Koma (,)
1. Tanda koma dipakai diantara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya:
Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Surat biasa, surat kilat, maupun surat khusus memerlukan prangko. Satu, dua, … tiga!
2. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi, atau melainkan.
Misalnya:
Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
3a. Tanda koma dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mendahului indukn kalimatnya.
Misalnya:
Kalau hari hujan, saya tida datang. Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.
3b. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya:
Saya tidak akan datang kalau hari hujan. Dia lupa akan janjinya karena sibuk.
Dia tahu bahwa soal itu penting.
3. Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi.
Misalnya:
…. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati.
…. Jadi, soalnya tidak semudah itu.
4. Tanda koma dipakai untuk memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya:
O, begitu?
Wah, bukan main!
Hati-hati, ya, nanti jatuh.
5. Tanda koma dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat. (Lihat juga pemakaian tanda petik, Bab V, Pasal L dan M.)
Misalnya:
Kata ibu “Saya gembira sekali.”
“Saya gembira sekali,” kata ibu, “karena kamu lulus.”
6. Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii) tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis berurutan.
Misalnya:
Surat-surat ini harap dialamatkan kepada Dekan Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, Jalan raya Salemba 6, Jakarta. Sdr. Abdullah, Jalan Pisang Batu 1, Bogor. Kuala Lumpur, Malaysia.
7. Tanda koma dipakai untuk menceraikan bagian nama yang dibalik susunannya dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid 1 dan
2. Djakarta: Pustaka Rakjat.
8. Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki.
Misalnya:
W.J.S. Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang (Jogjakarta: UP Indonesia, 1967), hlm. 4.
9. Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya utnuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya:
B. Ratulangi, S.E. Ny. Khadijah, M.A.
10. Tanda koma dipakai di muka angka persepuluh atau di antara rupiah dan sen yang dinyatakan dengan angka.
Misalnya:
12,5 m
Rp12,50
11. Tanda koma dipakai untuk mengapit keterangan tambahan yang sifatnya tidak membatasi. (Lihat juga pemakaian tanda pisah, Bab V, Pasal F.)
Misalnya:
Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
Di daerah kami, misalnya, masih banyak orang aki-laki yang makan sirih.
Semua siswa, baik yang laki-laki maupun perempuan, mengikuti latihan paduan suara.
Bandingkan dengan keterangan pembatas yang pemakaiannya tidak diapit tanda koma: Semua siswa yang lulus ujian mendaftarkan namanya pada panitia.
12.Tanda koma dapat dipakai―untuk menghindari salah baca―di belakang keterangan yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya:
Dalam upaya pembinaan dan pengembangan bahasa, kita memerlukan sikap yang sungguh-sungguh.
Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan terima kasih. Bandingkan dengan:
Kita memerlukan sikap yang bersungguh-sungguh dalam upaya pembinaan dan pengembanagan bahasa.
Karyadi mengucapkan terima kasih atas bantuan Agus.
13. Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang mengiringinya dalam kalimat jika petikan langung itu berakhir dengan tanda tanya atau seru.
Misalnya:
“Di mana Saudara tinggal?” tanya Karim. “Berdiri lurus-lurus!” perintahnya.
C. Tanda Titik Koma (;)
1. Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis
dan setara. Misalnya:
Malam akan larut; pekerjaan belum selesai juga
2. Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk memisahkan kalimat yang setara dalam kalimat majemuk.
Misalnya:
Ayah mengurus tanamannya di kebun itu; ibu sibuk bekerja di dapur; Adik menghafal nama-nama pahlawan nasional; saya sendiri asyik mendengarkan siaran “Pilihan Pendengar”.
D. Tanda Dua Titik (:)
1a. Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti rangkaian atau pemerian.
Misalnya:
Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan lemari. Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan itu: hidup atau mati.
1b. Tanda titk dua tidak dipakai jika rangkaian atau perian itu merupakan pelengkap yang mengkahiri pernyataan.
Misalnya:
Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
Fakultas itu mempunyai Jurusan Ekonomi Umum dan Jurusan Ekonomi
Perusahaan.
3. Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
Misalnya:
a. Ketua : Ahmad Wijaya Sekretaris : S. Handayani Bendahara : B. Hartawan
b. Tempat Sidang : Ruang 104
Pengantar Acara : Bambang S. Hari : Senin
Waktu : 09.30
4. Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan pelaku dalam percakapan.
Misalnya:
Ibu : (meletakkan beberapa kopor) “Bawa kopor ini, Mir!” Amir : “Baik, Bu.” (mengangkat kopor dan masuk)
Ibu : “Jangan lupa. Letakkan baik-baik!” (duduk di kursi besar)
5. Tanda titik dua dipakai (i) di antara jilid atau nomor dan halaman, (ii) di antara bab dan ayat dalam kitab suci, (iii) di antara judul dan anak judul suatu karangan , serta (iv) di antara nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.
Misalnya:
Tempo, I (34), 1971: 7
Surah Yasin: 9
Karangan Ali Hakim, Pedidikan Seumur Hidup: sebuah Studi, sudah terbit.
Tjokronegoro, Sutomo, Tjukuplah Saudara Membina Bahasa Persatuan Kita?
Djakarta: Eresco, 1968.
E. Tanda Hubung (-)
1. Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian baris.
Misalnya:
Di samping cara-cara lama itu ju- ga cara yang baru
suku kata yang berupa satu vocal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal baris. Misalnya:
Beberapa pendapat mengenai masalah itu
telah disampaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau
beranjak ….
Atau
Beberapa pendapat mengenai masalah
Itu telah disampaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau beranjak ….
Bukan:
Beberapa pendapat mengenai masalah i-
tu telah disamapaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak ma-
u beranjak ….
2. Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris.
Misalnya:
Kini ada acara baru untuk meng- ukur panas.
Kukuran baru ini memudahkan kita me- ngukur kelapa.
Senjata merupakan alat pertahan-
an yang canggih.
Akhiran i tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu huruf saja pada pangkal baris.
3. Tanda hubung meyambung unsur-unsur kata ulang.
Misalnya:
Anak-anak, berulang-ulang, kemerah-merahan
Angka 2 sebagai tanda ulang hanya digunakan pada tulisan cepat dan notula, dan tidak dipakai pada teks karangan.
4. Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian tanggal.
Misalnya:
p-a-n-i-t-i-a
8-4-1973
5. Tanda hubung boleh dipakai untuk memperjelas (i) hubungan bagian-bagian kata atau ungkapan, dan (ii) penghilangan baian kelompok kata.
Misalnya:
ber-evolusi, dua puluh lima-ribuan (20 x 5.000), tanggung jawab-dan kesetiakawanan-sosial
Bandingkan dengan:
Be-revolusi, dua-puluh-lima-ribuan (1 x 25.000), tanggung jawab dan kesetiakawanan sosial
6. Tanda hubung dipakai untuk merangkai (i) se- dengan kata berikutnya yang dimulai dengan huruf kapital, (ii) ke- dengan angka, (iii) angka dengan -an, (iv) singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (v) nama jabatan rangkap.
Misalnya:
se-Indonesia, se-Jawa Barat, hadiah ke-2, tahun 50-an, mem-PHK-kan, hari-H, sinar-X; Menteri Sekretaris Negara.
7. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsure bahasa Indonesia dengan unsure bahasa asing.
Misalnya:
di-smash, pen-tackle-an
F. Tanda Pisah (―)
1. Tanda pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan di luar bangun kalimat.
Misalnya:
Kemerdekaan bangsa itu―saya yakin akan tercapai―diperjuangkan oleh bangsa itu sendiri.
2. Tanda pisah menegaskan adanya keterangan oposisi atau keterangan yang lain sehingga kalimat menjadi lebih jelas.
Misalnya:
Rangkaian temuan ini―evolusi, teori kenisbian, dan kini juga pembelahan atom―telah mengubah konsepsi kita tentang alam semesta.
3. Tanda pisah dipakai di antara dua dilangan atau tanggal dengan arti ‘sampai dengan’ atau
‘sampai ke’. Misalnya:
1910―1945
Tanggal 5―10 April 1970
Jakarta―Bandung
Catatan:
Dalam pengetikan, tanda pisah dinyatakan dengan dua buah tanda hubung tanpa spasi sebelum dan sesudahnya.
G. Tanda Elipsis (…)
1. Tanda elipsis dipakai dalam kalimat yang terputus-putus.
Misalnya:
Kalau begitu … ya, marilah kita bergerak.
2. Tanda elipsis menunjukkan bahwa dalam satu kalimat atau naskah ada bagian yang dihilangkan.
Misalnya:
Sebab-sebab kemerosotan … akan diteliti lebih lanjut.
Catatan:
Jika bagian yang dihilangkan mengakhiri sebuah kalimat, perlu dipakai empat buah titik; tiga buah titik untuk menandai penghilangan teks dan atu untuk menandai akhir kalimat.
Misalnya:
Dalam tulisan, tanda baca harus digunakan dengan hati-hati….
H. Tanda Tanya (?)
1. Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
Misalnya:
Kapan ia berangkat? Saudara tahu, bukan?
2. Tanda taya dipakai dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang disangsikan atau yang kurang dapat membuktikan kebenarannya.
Misalnya:
Ia dilahirkan pada tahun 1983 (?).
Uangnya sebanyak 10 jta rupiah (?) hilang.
I. Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai sesuda ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, ataupun rasa emosi yang kuat.
Misalnya:
Alangkah seramnya peristiwa itu! Bersihkan kamar itu sekarang juga!
Masakan! Sampai hati juga ia meninggalkan anak-istrinya. Merdeka!
J. Tanda Kurung ((…))
1. Tanda kurung mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
Misalnya:
Bagian Perencanaan sudah selesai menyusun DIK (Daftar Isian Kegiatan) kantor itu.
2. Tanda kurung mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan bagian integral pokok pembicaraan.
Misalnya:
Sajak Tranggono yang berjudul “Ubud” (nama yang terkenal di Bali) ditulis pada tahun 1962.
Keterangan itu (lihat Tabel 10) menunjukkan arus perkembangan baru dalam pasaran dalam negeri.
3. Tanda kurung mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam teks dapat dihilangkan.
Misalnya:
Kata cocaine diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kokain (a).
Pejalan kaki itu berasal dari (kota) Surabaya.
4. Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan.
Misalnya:
Factor produksi menyangkut masalah (a) alam, (b) tenaga kerja, dan (c) modal.
K. Tanda Kurung Siku ([…])
1. Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu menyatakan
bahwa kesalahan atau ekurangan itu memang terdapat di naskah asli. Misalnya:
Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemerisik.
2. Tanda kurung siku menapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah bertanda kurung.
Misalnya:
Persamaan kedua proses ini (perbedaannya dibicarakan di dalam Bab II [lihat halaman 35-38] perlu dibentangkan.
L. Tanda Petik (“…”)
1. Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan daan nskah atau bahan tertulis lain.
Misalnya:
“Saya belum siap,” kata Mira, “tunggu sebentar!”
Pasal 36 UUD 1945 berbunyi, “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.”
2. Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam kalimat.
Misalnya:
Bacalah “Bola Lampu” dalam buku Dari Suatu Masa dari Suatu Tempat.
Karangan Andi Hakim Nasoetion yang berjudul “Rapor dan Nilai Prestasi di
SMA” dimuat dalam majalah Tempo.
Sajak “Berdiri Aku” terdapat pada halaman 5 buku itu.
3. Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang mempunyai arti khusus.
Misalnya:
Pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara “coba dan ralat” saja.
Ia bercelana panjang yang di kalangan remaja dikenal dengan nama “cutbrai”.
4. Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengahkiri petikan langsung.
Misalnya:
Kata Tono, “Saya juga minta satu.”
5. Tanda baca penutup kalimat atau bagian kalimat ditempatkan di belakang tanda petik yang mengapit kata atau ungkapan yang dipakai dengan arti khusus pada ujung kalimat atau bagian kalimat.
Misalnya:
Karena warna kulitnya, Budi mendapat julukan “si Hitam”.
Bang Komar sering disebut “pahlawan”; ia sendiri tidak tahu sebabnya.
Catatan:
Tanda petik pembuka dan tanda petik penutup pada pasangan tanda petik itu ditulis sama tinggi di sebelah atas baris.
M. Tanda Petik Tunggal (‘…’)
1. Tanda petik tunggal mengapit petikan yang tersusun di dalam petikan lain.
Misalnya:
Tanya Basri, “Kau dengar bunyi ‘kring-kring’ tadi?”
“Waktu kubuka pintu depan, kudengar teriak anakku, ‘Ibu, Bapak pulang’, dan
rasa letihku lenyap seketika,” ujar Pak Hamdan.
2. Tanda petik tunggal mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan kata atau ungkapan asing. (Lihat pemakaian tanda kurung, Bab V, Pasal J.)
Misalnya:
feed-back ‘balikan’
N. Tanda Garis Miring (/)
1. Tanda garis miring dipakai dalam nomor surat dan nomormpada alamat dan penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
Misalnya:
No. 7/PK/1973
Jalan Kramat III/10
tahun anggaran 1985/1986
2. Tanda gris miring dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap.
Misalnya:
dikirimkan lewat ‘dikirim lewt darat atau darat/laut lewat laut’
harganya Rp25,00/lembar ‘harganya Rp25,00 tiap lembar’
O. Tanda Penyingkat atau Apostrof
Tanda penyingkat menunjukkan penghilangan bagian kata atau bagian angka tahun. Misalnya:
Ali ‘kan kusurati. (‘kan = akan) Malam ‘lah tiba. (‘lah = telah)
1 Januari ’88. (’88 = 1988)
UU KEBAHASAAN (UU NO. 24 2009)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009
TENTANG
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa pengaturan tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia belum diatur di dalam bentuk undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN
LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih.
2. Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
4. Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya.
5. Panji adalah bendera yang dibuat untuk menunjukkan kedudukan dan kebesaran suatu jabatan atau organisasi.
6. Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah- daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Bahasa asing adalah bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
8. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2 . . .
Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas:
a. persatuan; b. kedaulatan; c. kehormatan; d. kebangsaan;
e. kebhinnekatunggalikaan;
f. ketertiban;
g. kepastian hukum;
h. keseimbangan; i. keserasian; dan j. keselarasan.
Pasal 3
Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan bertujuan untuk:
a. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
BAB II BENDERA NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.
(2) Bendera . . .
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur.
(3) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dengan ketentuan ukuran:
a. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
b. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
c. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
d. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
e. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
f. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
g. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
h. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
i. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;
dan
j. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
(4) Untuk keperluan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bendera yang merepresentasikan Bendera Negara dapat dibuat dari bahan yang berbeda dengan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ukuran yang berbeda dengan ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan bentuk yang berbeda dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
(1) Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.
(2) Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Bagian Kedua
Penggunaan Bendera Negara
Pasal 6
Penggunaan Bendera Negara dapat berupa pengibaran dan/atau pemasangan.
Pasal 7 . . .
(1) Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam.
(2) Dalam keadaan tertentu pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dapat dilakukan pada malam hari.
(3) Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(4) Dalam rangka pengibaran Bendera Negara di rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah daerah memberikan Bendera Negara kepada warga negara Indonesia yang tidak mampu.
(5) Selain pengibaran pada setiap tanggal 17 Agustus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bendera Negara dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besar nasional atau peristiwa lain.
Pasal 8
(1) Pengibaran Bendera Negara pada peristiwa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) secara nasional diatur oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kesekretariatan negara.
(2) Pengibaran Bendera Negera pada peristiwa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) di daerah, diatur oleh kepala daerah.
Pasal 9
(1) Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib dikibarkan setiap hari di:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. gedung atau kantor lembaga negara;
c. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
d. gedung atau kantor lembaga pemerintah
nonkementerian;
e. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
f. gedung . . .
f. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
g. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
h. gedung atau halaman satuan pendidikan;
i. gedung atau kantor swasta;
j. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
k. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
l. rumah jabatan menteri;
m. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
n. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
o. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
p. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
q. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Republik Indonesia; dan
r. taman makam pahlawan nasional.
(2) Penggunaan Bendera Negara di lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q diatur tersendiri oleh pimpinan institusi dengan berpedoman pada Undang-Undang ini;
(3) Penggunaan Bendera Negara di kantor perwakilan negara Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan berpedoman pada Undang-Undang ini.
(4) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g digunakan di luar gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dilakukan sesuai dengan peraturan penggunaan bendera asing yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Bendera Negara wajib dipasang pada:
a. kereta api yang digunakan Presiden atau Wakil
Presiden;
b. kapal milik Pemerintah atau kapal yang terdaftar di
Indonesia pada waktu berlabuh dan berlayar; atau
c. pesawat terbang milik Pemerintah atau pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia.
(2) Pemasangan . . .
(2) Pemasangan Bendera Negara di kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditempatkan di sebelah kanan kabin masinis.
(3) Pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditempatkan di tengah anjungan kapal.
(4) Pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditempatkan di sebelah kanan ekor pesawat terbang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 11
(1) Bendera Negara dapat dikibarkan dan/atau dipasang pada:
a. kendaraan atau mobil dinas;
b. pertemuan resmi pemerintah dan/atau organisasi;
c. perayaan agama atau adat;
d. pertandingan olahraga; dan/atau e. perayaan atau peristiwa lain.
(2) Bendera Negara dipasang pada mobil dinas Presiden, Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, menteri atau pejabat setingkat menteri, Gubernur Bank Indonesia, mantan Presiden, dan mantan Wakil Presiden sebagai tanda kedudukan.
(3) Bendera Negara sebagai tanda kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipasang di tengah-tengah pada bagian depan mobil.
(4) Dalam hal pejabat tinggi pemerintah negara asing menggunakan mobil yang disediakan Pemerintah, Bendera Negara dipasang di sisi kiri bagian depan mobil.
Pasal 12
(1) Bendera Negara dapat digunakan sebagai:
a. tanda perdamaian;
b. tanda berkabung; dan/atau
c. penutup peti atau usungan jenazah.
(2) Bendera . . .
(2) Bendera Negara sebagai tanda perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan apabila terjadi konflik horizontal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Dalam hal Bendera Negara sebagai tanda perdamaian dikibarkan pada saat terjadi konflik horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap pihak yang bertikai wajib menghentikan pertikaian.
(4) Bendera Negara digunakan sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, pimpinan atau anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah meninggal dunia.
(5) Bendera Negara sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikibarkan setengah tiang.
(6) Apabila Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama tiga hari berturut-turut di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semua kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(7) Apabila pimpinan lembaga negara dan menteri atau pejabat setingkat menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama dua hari berturut-turut terbatas pada gedung atau kantor pejabat negara yang bersangkutan.
(8) Apabila anggota lembaga negara, kepala daerah dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama satu hari, terbatas pada gedung atau kantor pejabat yang bersangkutan.
(9) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia di luar negeri, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan sejak tanggal kedatangan jenazah di Indonesia.
(10) Pengibaran Bendera Negara setengah tiang sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan kententuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8).
(11) Dalam . . .
(11) Dalam hal Bendera Negara sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersamaan dengan pengibaran Bendera Negara dalam rangka peringatan hari-hari besar nasional, dua Bendera Negara dikibarkan berdampingan, yang sebelah kiri dipasang setengah tiang dan yang sebelah kanan dipasang penuh.
(12) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.
(13) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipasang lurus memanjang pada peti atau usungan jenazah, bagian yang berwarna merah di atas sebelah kiri badan jenazah.
(14) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (13) setelah digunakan dapat diberikan kepada pihak keluarga.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penggunaan Bendera Negara
Pasal 13
(1) Bendera Negara dikibarkan dan/atau dipasang pada tiang yang besar dan tingginya seimbang dengan ukuran Bendera Negara.
(2) Bendera Negara yang dipasang pada tali diikatkan pada sisi dalam kibaran Bendera Negara.
(3) Bendera Negara yang dipasang pada dinding, dipasang membujur rata.
Pasal 14
(1) Bendera Negara dinaikkan atau diturunkan pada tiang secara perlahan-lahan, dengan khidmat, dan tidak menyentuh tanah.
(2) Bendera . . .
(2) Bendera Negara yang dikibarkan setengah tiang, dinaikkan hingga ke ujung tiang, dihentikan sebentar dan diturunkan tepat setengah tiang.
(3) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hendak diturunkan, dinaikkan terlebih dahulu hingga ujung tiang, dihentikan sebentar, kemudian diturunkan.
Pasal 15
(1) Pada waktu penaikan atau penurunan Bendera Negara, semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadapkan muka pada Bendera Negara sampai penaikan atau penurunan Bendera Negara selesai.
(2) Penaikan atau penurunan Bendera Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diiringi Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya.
Pasal 16
(1) Dalam hal Bendera Negara dikibarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Bendera Negara ditempatkan di halaman depan, di tengah-tengah atau di sebelah kanan gedung atau kantor, rumah, satuan pendidikan, dan taman makam pahlawan.
(2) Dalam pertemuan atau rapat yang menggunakan
Bendera Negara:
a. apabila dipasang pada dinding, Bendera Negara
ditempatkan rata pada dinding di atas sebelah belakang pimpinan rapat;
b. apabila dipasang pada tiang, Bendera Negara
ditempatkan di sebelah kanan pimpinan rapat atau mimbar.
Pasal 17
(1) Dalam hal Bendera Negara dikibarkan atau dipasang secara berdampingan dengan bendera negara lain, ukuran bendera seimbang dan ukuran tiang bendera negara sama.
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikibarkan sebagai berikut:
a. apabila ada satu bendera negara lain, Bendera
Negara ditempatkan di sebelah kanan;
b. apabila . . .
b. apabila ada sejumlah bendera negara lain, semua bendera ditempatkan pada satu baris dengan kententuan:
1. jumlah semua bendera ganjil, Bendera Negara ditempatkan di tengah; dan
2. apabila jumlah semua bendera genap, Bendera
Negara ditempatkan di tengah sebelah kanan.
(3) Penempatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dalam acara internasional yang dihadiri oleh kepala negara, wakil kepala negara, dan kepala pemerintahan dapat dilakukan menurut kebiasaan internasional.
(4) Penempatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku untuk Bendera Negara yang dibawa bersama-sama dengan bendera negara lain dalam pawai atau defile.
Pasal 18
Dalam hal penandatanganan perjanjian internasional antara pejabat Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pejabat negara lain, Bendera Negara ditempatkan dengan ketentuan:
a. apabila di belakang meja pimpinan dipasang dua bendera negara pada dua tiang, Bendera Negara ditempatkan di sebelah kanan dan bendera negara lain ditempatkan di sebelah kiri;
b. bendera meja dapat diletakkan di atas meja dengan sistem bersilang atau paralel.
Pasal 19
Dalam hal Bendera Negara dan bendera negara lain dipasang pada tiang yang bersilang, Bendera Negara ditempatkan di sebelah kanan dan tiangnya ditempatkan di depan tiang bendera negara lain.
Pasal 20
Dalam hal Bendera Negara yang berbentuk bendera meja dipasang bersama dengan bendera negara lain pada konferensi internasional, Bendera Negara ditempatkan di depan tempat duduk delegasi Republik Indonesia.
Pasal 21 . . .
(1) Dalam hal Bendera Negara dipasang bersama dengan bendera atau panji organisasi, Bendera Negara ditempatkan dengan ketentuan:
a. apabila ada sebuah bendera atau panji organisasi,
Bendera Negara dipasang di sebelah kanan;
b. apabila ada dua atau lebih bendera atau panji organisasi dipasang dalam satu baris, Bendera
Negara ditempatkan di depan baris bendera atau panji organisasi di posisi tengah;
c. apabila Bendera Negara dibawa dengan tiang bersama dengan bendera atau panji organisasi dalam pawai atau defile, Bendera Negara dibawa di depan rombongan; dan
d. Bendera Negara tidak dipasang bersilang dengan
bendera atau panji organisasi.
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat lebih besar dan dipasang lebih tinggi daripada
bendera atau panji organisasi.
Pasal 22
(1) Bendera Negara yang dipasang berderet pada tali sebagai hiasan, ukurannya dibuat sama besar dan disusun dengan urutan warna merah putih.
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dipasang berselingan dengan bendera organisasi atau bendera lain.
Pasal 23
Bendera Negara yang digunakan sebagai lencana dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.
Bagian Keempat
Larangan
Pasal 24
Setiap orang dilarang:
a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau
melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
b. memakai . . .
b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
c. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
e. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.
BAB III BAHASA NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
(2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
(3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Bagian Kedua
Penggunaan Bahasa Indonesia
Pasal 26
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 27 . . .
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara.
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Pasal 29
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
(2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
(3) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing.
Pasal 30
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan.
Pasal 31
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Pasal 32
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.
(2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.
Pasal 33 . . .
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.
(2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.
Pasal 34
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan.
Pasal 35
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia.
(2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian khusus dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.
Pasal 36
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.
(2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya memiliki 1 (satu) nama resmi.
(3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Pasal 37
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.
(2) Informasi . . .
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan.
Pasal 38
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.
(2) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing.
Pasal 39
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa.
(2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa Indonesia
Pasal 41
(1) Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 . . .
(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi untuk meningkatkan kompetensi berbahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional
Pasal 44
(1) Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
(2) Peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima . . .
Bagian Kelima
Lembaga Kebahasaan
Pasal 45
Lembaga kebahasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 44 ayat (2) dibentuk sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri.
BAB IV LAMBANG NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Pasal 47
(1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
(2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45.
Pasal 48
(1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.
(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:
a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
b. dasar . . .
b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;
c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;
d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan
e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
Pasal 49
Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:
a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai;
b. warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai;
c. warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda;
d. warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan
e. warna alam untuk seluruh gambar lambang.
Pasal 50
Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal
49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Penggunaan Lambang Negara
Pasal 51
Lambang Negara wajib digunakan di:
a. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan
pendidikan;
b. luar gedung atau kantor;
c. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d. paspor . . .
d. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
e. uang logam dan uang kertas; atau f. materai.
Pasal 52
Lambang Negara dapat digunakan:
a. sebagai cap atau kop surat jabatan;
b. sebagai cap dinas untuk kantor;
c. pada kertas bermaterai;
d. pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;
e. sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri;
f. dalam penyelenggaraan peristiwa resmi;
g. dalam buku dan majalah yang diterbitkan oleh
h. Pemerintah;
dalam buku kumpulan undang-undang; dan/atau
i. di rumah warga negara Indonesia.
Pasal 53
(1) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dipasang pada:
a. gedung dan/atau kantor Presiden dan Wakil
Presiden;
b. gedung dan/atau kantor lembaga negara;
c. gedung dan/atau kantor instansi pemerintah; dan d. gedung dan/atau kantor lainnya.
(2) Penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b pada:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
c. gedung atau kantor dan rumah jabatan kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan
d. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat.
(3) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b diletakkan pada tempat tertentu.
(4) Penggunaan . . .
(4) Penggunaan Lambang Negara pada lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c diletakkan di bagian tengah atas halaman pertama dokumen.
(5) Penggunaan Lambang Negara pada paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d diletakkan di bagian tengah halaman dokumen.
Pasal 54
(1) Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a digunakan oleh:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang.
(2) Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b digunakan untuk kantor:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala . . .
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang.
(3) Lambang Negara sebagai lencana atau atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.
(4) Lambang Negara yang digunakan dalam penyelenggaraan peristiwa resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf f dipasang pada gapura dan/atau bangunan lain yang pantas.
Pasal 55
(1) Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a. Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan
b. gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.
(2) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipasang di dinding, Lambang Negara diletakkan di tengah atas antara gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden.
Pasal 56
(1) Ukuran Lambang Negara disesuaikan dengan ukuran ruangan dan tempat sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dibuat dari bahan yang kuat.
Bagian Ketiga . . .
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 57
Setiap orang dilarang:
a. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak
Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
b. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB V
LAGU KEBANGSAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 58
(1) Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman.
(2) Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Penggunaan Lagu Kebangsaan
Pasal 59
(1) Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil
Presiden;
b. untuk . . .
b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;
c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah;
d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah;
e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi;
f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional;
dan
g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.
(2) Lagu Kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan;
b. dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran;
c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau
d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni internasional.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penggunaan Lagu Kebangsaan
Pasal 60
(1) Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan secara instrumental.
(2) Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein.
(3) Lagu . . .
(3) Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama.
Pasal 61
Apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan lengkap tiga stanza, bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinyanyikan ulang satu kali.
Pasal 62
Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Pasal 63
(1) Dalam hal Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia menerima kunjungan kepala negara atau kepala pemerintahan negara lain, lagu kebangsaan negara lain diperdengarkan lebih dahulu, selanjutnya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
(2) Dalam hal Presiden Republik Indonesia menerima duta besar negara lain dalam upacara penyerahan surat kepercayaan, lagu kebangsaan negara lain diperdengarkan pada saat duta besar negara lain tiba, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan pada saat duta besar negara lain akan meninggalkan istana.
Bagian Keempat
Larangan
Pasal 64
Setiap orang dilarang:
a. mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata- kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan;
b. memperdengarkan . . .
b. memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan dengan maksud untuk tujuan komersial; atau
c. menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan dengan maksud untuk tujuan komersial.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
Pasal 65
Warga Negara Indonesia berhak dan wajib memelihara, menjaga, dan menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara sesuai dengan Undang-Undang ini.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 66
Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 67
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf b;
b. dengan . . .
b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d;
d. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit- langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e.
Pasal 68
Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau
c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 70
Setiap orang yang mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 71 . . .
Pasal 71
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
Peraturan pelaksana yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 74
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 Juli 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 109
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, ttd.
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009
TENTANG
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
I. Umum
Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan demikian, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia. Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara yang beragam sebagai bangsa besar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia bahkan cenderung berkembang menjadi bahasa perhubungan luas. Penggunaannya oleh bangsa lain yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pasal 36A menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya Pasal 36B menyebutkan bahwa Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal-pasal tersebut merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh Negara tentang penggunaan simbol-simbol tersebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh bentuk simbol kedaulatan negara dan identitas nasional harus diatur dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Bendera . . .
Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan hingga kini belum diatur secara lengkap dalam sebuah peraturan perundang- undangan. Pada saat Undang-Undang ini dibentuk, bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah yang merupakan produk hukum berdasarkan amanat Undang- Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950. Secara parsial, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan menurut kebutuhan isinya. Bahkan, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra hanya didasarkan pada hasil rumusan seminar politik bahasa nasional tahun 1974 dan tahun 1999, yang dikenal sebagai Politik Bahasa Nasional.
Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur tentang bendera, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur tentang kejahatan (tindak pidana) yang menggunakan Bendera Sang Merah Putih; penodaan terhadap bendera negara sahabat; penodaan terhadap Bendera Sang Merah Putih dan Lambang Negara Garuda Pancasila; serta pemakaian Bendera Sang Merah Putih oleh mereka yang tidak memiliki hak menggunakannya seperti terdapat pada Pasal
52a; Pasal 142a; Pasal 154a; dan Pasal 473.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550), Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361), Undang-
Undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 Nomor 80), Undang-Undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3390) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera
Kebangsaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1958 No.68);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1958 tentang Penggunaan
Bendera Kebangsaan Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 No.69);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1958 tentang Panji dan
Bendera Jabatan;
7. Peraturan . . .
7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan
Lambang Negara;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya; dan
9. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1990 tentang Ketentuan Keprotokolan Mengenai Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.
Pengaturan perihal bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan dalam bentuk undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu segera direalisasikan. Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mampu mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan yang selama ini masih berpedoman kepada peraturan perundang-undangan produk Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan merupakan jaminan kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standardisasi, dan ketertiban di dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas persatuan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai sarana pemersatu bangsa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan merupakan simbol yang menunjukkan kekuasaan tertinggi pada negara.
Huruf c . . .
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kehormatan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai jati diri yang menunjukkan harga diri, dan kebesaran bangsa dan negara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan sifat patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kebhinnekatunggalikaan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan mencerminkan kesatuan dalam keberagaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam penggunaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat memberikan kepastian hukum dalam penggunaannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keserasian” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.
Huruf j . . .
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.
Pasal 3
Cukup jelas. Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “warna merah” adalah warna merah jernih yang secara digital mempunyai kadar MHB (Merah Hijau Biru) atau RGB (Red Green Blue): merah 255, hijau 0, dan biru 0. Warna merah telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan keberanian.
Yang dimaksud dengan “warna putih” adalah warna putih tanpa gradasi secara digital mempunyai kadar MHB: merah 255, hijau
255, dan biru 255. Warna putih telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan kesucian.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bahan yang berbeda” misalnya kertas, plastik, dan alumunium.
Yang dimaksud dengan ”ukuran yang berbeda” adalah besar kecilnya bendera.
Yang dimaksud dengan ”bentuk yang berbeda” adalah bentuk bendera yang tidak mengikuti bentuk persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang, misalnya bentuk segitiga, bujur sangkar, trapesium, jajaran genjang, dan lingkaran.
Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6
Yang dimaksud dengan “pengibaran” adalah penaikan dan penurunan bendera.
Pasal 7 . . .
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” adalah:
a. keadaan mengobarkan semangat patriotisme membela tanah air;
b. keadaan menghormati kunjungan pemerintahan negara lain; kepala negara atau
c. darurat perang;
d. perlombaan olah raga;
e. renungan suci;
f. keadaan sangat bersuka cita; atau
g. keadaan sangat berduka cita.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah termasuk wilayah yurisdiksi alat transportasi udara, laut, dan darat milik pemerintah ataupun warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “hari-hari besar nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” antara lain:
a. tanggal 2 Mei, hari Pendidikan Nasional;
b. tanggal 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional;
c. tanggal 1 Oktober, hari Kesaktian Pancasila;
d. tanggal 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda;
e. tanggal 10 November, hari Pahlawan.
Yang dimaksud dengan “peristiwa lain” adalah peristiwa besar atau kejadian luar biasa yang dialami oleh bangsa Indonesia, misalnya kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke daerah dan pada perayaan dirgahayu daerah.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9 . . .
Pasal 9
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga negara” adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang- undangan.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o . . .
Huruf o
Yang dimaksud dengan “gedung atau kantor atau rumah jabatan lain” adalah gedung atau kantor atau rumah jabatan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf p
Cukup jelas. Huruf q
Cukup jelas
Huruf r
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penggunaan bendera pada kapal-kapal adalah sebagai tanda kehormatan untuk menyatakan kebangsaan dan identitas kapal-kapal tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dimaksud dengan “perayaan atau peristiwa lain” adalah perayaan atau peristiwa yang digunakan sebagai tanda pernyataan kebangsaan dan kegembiraan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Pengibaran Bendera di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan di halaman rumah seluruh warga negara Indonesia, kantor/gedung pemerintah maupun swasta, satuan pendidikan, dan seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia di luar negeri.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) . . .
Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9)
Cukup jelas. Ayat (10)
Cukup jelas. Ayat (11)
Cukup jelas. Ayat (12)
Cukup jelas. Ayat (13)
Cukup jelas. Ayat (14)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas. Pasal 14
Cukup jelas. Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kebiasaan internasional” adalah segala sesuatu mengenai prosedur atau tata cara dalam praktek pergaulan internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Ayat (1) Huruf a
Yang dimaksud dengan “panji organisasi” termasuk panji kebesaran TNI dan POLRI.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “baris” adalah deretan bendera yang sejajar dengan satu baris.
Huruf c
Bendera Negara dibawa di depan rombongan pawai/defile untuk menghormati Bendera Negara.
Huruf d
Bendera Negara tidak disilangkan dengan panji organisasi karena tidak sederajat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Bendera Negara dalam ketentuan ini termasuk representasi Bendera
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .
Yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan “pidato resmi” adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu.
Pasal 29
Cukup jelas. Pasal 30
Cukup jelas. Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.
Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
Ayat (2)
Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud “bersifat nasional” adalah berskala antardaerah dan berdampak nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud “bersifat internasional” adalah berskala antarbangsa dan berdampak internasional.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja swasta” adalah mencakup perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Pasal 34 . . .
Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Cukup jelas. Pasal 39
Cukup jelas. Pasal 40
Cukup jelas. Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengembangan bahasa” adalah upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
Yang dimaksud dengan “pembinaan bahasa” adalah upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pelindungan bahasa” adalah upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42 . . .
Cukup jelas. Pasal 43
Cukup jelas. Pasal 44
Yang dimaksud “bahasa internasional” adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi antarbangsa.
Pasal 45
Cukup jelas. Pasal 46
Yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali.
Garuda digunakan sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
Yang dimaksud dengan “perisai” adalah tameng yang telah dikenal lama dalam kebudayaan dan peradaban asli Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sayap garuda berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45” adalah lambang tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan waktu pengumandangan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pasal 48 . . .
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa” adalah garis untuk melambangkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara merdeka dan berdaulat yang dilintasi garis katulistiwa.
Ayat (2) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Mata rantai bulat yang berjumlah 9 melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi yang berjumlah 8 melambangkan unsur laki-laki. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Kedua tumbuhan kapas dan padi sesuai dengan hymne yang menempatkan pakaian (sandang) dan makanan (pangan) sebagai simbol tujuan kemakmuran dan kesejahteraan.
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan “warna kuning emas” adalah warna kuning keemasan secara digital memunyai kadar MHB: merah
255, hijau 255, dan biru 0. Warna kuning emas melambangkan
keagungan bangsa atau keluhuran Negara. Huruf d
Yang dimaksud dengan “warna hitam” adalah warna hitam yang secara digital mempunyai kadar MHB: merah 0, hijau 0, biru 0.
Warna . . .
Warna hitam menggambarkan siklus dan jalinan kehidupan umat manusia dari awal mula penciptaan hingga akhir kehidupan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “warna alam” adalah warna-warna yang menyerupai warna benda dan makhluk hidup yang ada di alam. Warna-warna itu menggambarkan semangat dan dinamika kehidupan di alam semesta ini.
Pasal 50
Cukup jelas. Pasal 51
Cukup jelas. Pasal 52
Cukup jelas. Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor” adalah untuk menunjukkan kewibawaan negara yang penggunaannya dibatasi hanya pada kantor dinas.
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga negara” antara lain: Presiden dan Wakil Presiden, Menteri dan pejabat setingkat menteri, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Yang dimaksud dengan “gedung atau kantor lain” adalah gedung sekolah, kantor perusahaan swasta, organisasi dan lembaga-lembaga.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantor” adalah penggunaan Lambang Negara sebagai lambang keistimewaan yang penggunaannya ditempatkan di muka sebelah luar pada rumah jabatan (ambtswoning) yang disediakan khusus untuk pejabat negara.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tempat tertentu” adalah tempat yang pantas, menarik perhatian orang, mudah dilihat, dan tampak baik bagi pandangan mata semua orang yang datang dan berada di gedung atau kantor tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dimaksud dengan “badan peradilan” antara lain
Mahkamah Konstitusi
Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas. Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Lambang Negara dibuat dari bahan yang kuat” adalah bahwa Lambang Negara harus dibuat dari bahan cor semen, metal, campuran besi atau campuran bahan lain yang liat dan kuat, sehingga bentuk Lambang Negara terlihat kokoh dan kuat, dapat digunakan untuk waktu yang lama, tidak mudah patah, hancur ataupun tidak cepat rusak.
Pasal 57
Cukup jelas. Pasal 58
Cukup jelas. Pasal 59
Cukup jelas. Pasal 60
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”strofe” adalah stanza dalam musik. Ayat (3)
Stanza dalam lagu Indonesia Raya terdiri atas tiga bait. Bait ketiga biasa dikenal dengan refrein.
Pasal 61 . . .
Pasal 61
Cukup jelas. Pasal 62
Yang dimaksud dengan ”berdiri tegak dengan sikap hormat” pada waktu lagu kebangsaan diperdengarkan/dinyanyikan adalah berdiri tegak di tempat masing-masing dengan sikap sempurna, meluruskan lengan ke bawah, mengepalkan telapak tangan, dan ibu jari menghadap ke depan merapat pada paha disertai pandangan lurus ke depan.
Pasal 63
Cukup jelas. Pasal 64
Yang dimaksud dengan “dilarang memperdengarkan atau menyanyikan Lagu Kebangsaan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lain” adalah agar Lagu Kebangsaan tidak dinyanyikan secara sembarangan dan keluar dari derajat dan kedudukannya sebagai Lagu Kebangsaan. Sedangkan yang dimaksud dilarang memperdengarkan, menyanyikan, dan menggunakan Lagu Kebangsaan untuk bahan dan alat reklame dan/atau kegiatan komersial dalam bentuk apapun adalah agar Lagu Kebangsaan tidak digunakan untuk meraih keuntungan komersial tertentu yang melecehkan kedudukan Lagu Kebangsaan tersebut.
Pasal 65
Cukup jelas. Pasal 66
Cukup jelas. Pasal 67
Cukup jelas. Pasal 68
Cukup jelas. Pasal 69
Cukup jelas. Pasal 70
Cukup jelas. Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72 . . .
Pasal 72
Cukup jelas. Pasal 73
Cukup jelas. Pasal 74
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5035
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24 Tahun 2009
TANGGAL : 9 Juli 2009
Warna:
Warna Merah : MHB (RGB) : merah 255, hijau 000, dan biru 000
Warna Putih : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 255
Warna Kuning Emas : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 000
Warna Hitam : MHB (RGB) : merah 000, hijau 000, dan biru 000
Perbandingan Ukuran: Jarak A – B = 12
Jarak C – D = 13 ½
Jarak E – F = 16
Jarak G –H = 15 ½
Jarak I – J = 17
LIRIK LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
VERSI ASLI DENGAN TIGA STANZA
Stanza 1:
Indonesia Tanah Airkoe Tanah Toempah Darahkoe Di sanalah Akoe Berdiri Djadi Pandoe Iboekoe Indonesia Kebangsaankoe Bangsa Dan Tanah Airkoe Marilah Kita Berseroe Indonesia Bersatoe
Hidoeplah Tanahkoe Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Sem'wanja
Bangoenlah Djiwanja Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
Stanza 2:
Indonesia Tanah Jang Moelia Tanah Kita Jang Kaja Di sanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-Lamanja Indonesia Tanah Poesaka P'saka Kita Semoeanja Marilah Kita Mendo'a Indonesia Bahagia
Soeboerlah Tanahnja Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja Sadarlah Hatinja Sadarlah Boedinja Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
- 3 -
Stanza 3:
Indonesia Tanah Jang Seotji Tanah Kita Jang Sakti Di sanalah Akoe Berdiri 'Njaga Iboe Sedjati Indonesia Tanah Berseri Tanah Jang Akoe Sajangi Marilah Kita Berdjandji Indonesia Abadi
S'lamatlah Ra'jatnja S'lamatlah Poetranja
Poelaoenja Laoetnja Sem'wanja
Madjoelah Negrinja Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
TENTANG
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan sarana pemersatu, identitas, dan wujud eksistensi bangsa yang menjadi simbol kedaulatan dan kehormatan negara sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia merupakan manifestasi kebudayaan yang berakar pada sejarah perjuangan bangsa, kesatuan dalam keragaman budaya, dan kesamaan dalam mewujudkan cita-cita bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
c. bahwa pengaturan tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia belum diatur di dalam bentuk undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 36A, Pasal 36B, dan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG BENDERA, BAHASA, DAN
LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bendera Negara adalah Sang Merah Putih.
2. Bahasa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi nasional yang digunakan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3. Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
4. Lagu Kebangsaan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya.
5. Panji adalah bendera yang dibuat untuk menunjukkan kedudukan dan kebesaran suatu jabatan atau organisasi.
6. Bahasa daerah adalah bahasa yang digunakan secara turun-temurun oleh warga negara Indonesia di daerah- daerah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
7. Bahasa asing adalah bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah.
8. Menteri adalah menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
9. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
10. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Pasal 2 . . .
Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai simbol identitas wujud eksistensi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas:
a. persatuan; b. kedaulatan; c. kehormatan; d. kebangsaan;
e. kebhinnekatunggalikaan;
f. ketertiban;
g. kepastian hukum;
h. keseimbangan; i. keserasian; dan j. keselarasan.
Pasal 3
Pengaturan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan bertujuan untuk:
a. memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia;
b. menjaga kehormatan yang menunjukkan kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
c. menciptakan ketertiban, kepastian, dan standardisasi penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan.
BAB II BENDERA NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 4
(1) Bendera Negara Sang Merah Putih berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang serta bagian atas berwarna merah dan bagian bawah berwarna putih yang kedua bagiannya berukuran sama.
(2) Bendera . . .
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dari kain yang warnanya tidak luntur.
(3) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat dengan ketentuan ukuran:
a. 200 cm x 300 cm untuk penggunaan di lapangan istana kepresidenan;
b. 120 cm x 180 cm untuk penggunaan di lapangan umum;
c. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di ruangan;
d. 36 cm x 54 cm untuk penggunaan di mobil Presiden dan Wakil Presiden;
e. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di mobil pejabat negara;
f. 20 cm x 30 cm untuk penggunaan di kendaraan umum;
g. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kapal;
h. 100 cm x 150 cm untuk penggunaan di kereta api;
i. 30 cm x 45 cm untuk penggunaan di pesawat udara;
dan
j. 10 cm x 15 cm untuk penggunaan di meja.
(4) Untuk keperluan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bendera yang merepresentasikan Bendera Negara dapat dibuat dari bahan yang berbeda dengan bahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ukuran yang berbeda dengan ukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dan bentuk yang berbeda dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 5
(1) Bendera Negara yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta disebut Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.
(2) Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih disimpan dan dipelihara di Monumen Nasional Jakarta.
Bagian Kedua
Penggunaan Bendera Negara
Pasal 6
Penggunaan Bendera Negara dapat berupa pengibaran dan/atau pemasangan.
Pasal 7 . . .
(1) Pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan pada waktu antara matahari terbit hingga matahari terbenam.
(2) Dalam keadaan tertentu pengibaran dan/atau pemasangan Bendera Negara dapat dilakukan pada malam hari.
(3) Bendera Negara wajib dikibarkan pada setiap peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Indonesia tanggal 17 Agustus oleh warga negara yang menguasai hak penggunaan rumah, gedung atau kantor, satuan pendidikan, transportasi umum, dan transportasi pribadi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan di kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(4) Dalam rangka pengibaran Bendera Negara di rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pemerintah daerah memberikan Bendera Negara kepada warga negara Indonesia yang tidak mampu.
(5) Selain pengibaran pada setiap tanggal 17 Agustus sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bendera Negara dikibarkan pada waktu peringatan hari-hari besar nasional atau peristiwa lain.
Pasal 8
(1) Pengibaran Bendera Negara pada peristiwa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) secara nasional diatur oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya berkaitan dengan kesekretariatan negara.
(2) Pengibaran Bendera Negera pada peristiwa lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (5) di daerah, diatur oleh kepala daerah.
Pasal 9
(1) Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib dikibarkan setiap hari di:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. gedung atau kantor lembaga negara;
c. gedung atau kantor lembaga pemerintah;
d. gedung atau kantor lembaga pemerintah
nonkementerian;
e. gedung atau kantor lembaga pemerintah daerah;
f. gedung . . .
f. gedung atau kantor dewan perwakilan rakyat daerah;
g. gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri;
h. gedung atau halaman satuan pendidikan;
i. gedung atau kantor swasta;
j. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
k. rumah jabatan pimpinan lembaga negara;
l. rumah jabatan menteri;
m. rumah jabatan pimpinan lembaga pemerintahan nonkementerian;
n. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat;
o. gedung atau kantor atau rumah jabatan lain;
p. pos perbatasan dan pulau-pulau terluar di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
q. lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan
Kepolisian Republik Indonesia; dan
r. taman makam pahlawan nasional.
(2) Penggunaan Bendera Negara di lingkungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf q diatur tersendiri oleh pimpinan institusi dengan berpedoman pada Undang-Undang ini;
(3) Penggunaan Bendera Negara di kantor perwakilan negara Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g dilakukan dengan berpedoman pada Undang-Undang ini.
(4) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf g digunakan di luar gedung atau kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri dilakukan sesuai dengan peraturan penggunaan bendera asing yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Pasal 10
(1) Bendera Negara wajib dipasang pada:
a. kereta api yang digunakan Presiden atau Wakil
Presiden;
b. kapal milik Pemerintah atau kapal yang terdaftar di
Indonesia pada waktu berlabuh dan berlayar; atau
c. pesawat terbang milik Pemerintah atau pesawat terbang yang terdaftar di Indonesia.
(2) Pemasangan . . .
(2) Pemasangan Bendera Negara di kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditempatkan di sebelah kanan kabin masinis.
(3) Pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditempatkan di tengah anjungan kapal.
(4) Pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c ditempatkan di sebelah kanan ekor pesawat terbang.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemasangan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 11
(1) Bendera Negara dapat dikibarkan dan/atau dipasang pada:
a. kendaraan atau mobil dinas;
b. pertemuan resmi pemerintah dan/atau organisasi;
c. perayaan agama atau adat;
d. pertandingan olahraga; dan/atau e. perayaan atau peristiwa lain.
(2) Bendera Negara dipasang pada mobil dinas Presiden, Wakil Presiden, Ketua Majelis Permusyawatan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua Dewan Perwakilan Daerah, Ketua Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Konstitusi, Ketua Badan Pemeriksa Keuangan, menteri atau pejabat setingkat menteri, Gubernur Bank Indonesia, mantan Presiden, dan mantan Wakil Presiden sebagai tanda kedudukan.
(3) Bendera Negara sebagai tanda kedudukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipasang di tengah-tengah pada bagian depan mobil.
(4) Dalam hal pejabat tinggi pemerintah negara asing menggunakan mobil yang disediakan Pemerintah, Bendera Negara dipasang di sisi kiri bagian depan mobil.
Pasal 12
(1) Bendera Negara dapat digunakan sebagai:
a. tanda perdamaian;
b. tanda berkabung; dan/atau
c. penutup peti atau usungan jenazah.
(2) Bendera . . .
(2) Bendera Negara sebagai tanda perdamaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a digunakan apabila terjadi konflik horizontal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Dalam hal Bendera Negara sebagai tanda perdamaian dikibarkan pada saat terjadi konflik horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap pihak yang bertikai wajib menghentikan pertikaian.
(4) Bendera Negara digunakan sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, pimpinan atau anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah meninggal dunia.
(5) Bendera Negara sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dikibarkan setengah tiang.
(6) Apabila Presiden atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama tiga hari berturut-turut di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan semua kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
(7) Apabila pimpinan lembaga negara dan menteri atau pejabat setingkat menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama dua hari berturut-turut terbatas pada gedung atau kantor pejabat negara yang bersangkutan.
(8) Apabila anggota lembaga negara, kepala daerah dan/atau pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan selama satu hari, terbatas pada gedung atau kantor pejabat yang bersangkutan.
(9) Dalam hal pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meninggal dunia di luar negeri, pengibaran Bendera Negara setengah tiang dilakukan sejak tanggal kedatangan jenazah di Indonesia.
(10) Pengibaran Bendera Negara setengah tiang sebagaimana dimaksud pada ayat (9) dilakukan sesuai dengan kententuan sebagaimana dimaksud pada ayat (6), ayat (7), dan ayat (8).
(11) Dalam . . .
(11) Dalam hal Bendera Negara sebagai tanda berkabung sebagaimana dimaksud pada ayat (5) bersamaan dengan pengibaran Bendera Negara dalam rangka peringatan hari-hari besar nasional, dua Bendera Negara dikibarkan berdampingan, yang sebelah kiri dipasang setengah tiang dan yang sebelah kanan dipasang penuh.
(12) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat dipasang pada peti atau usungan jenazah Presiden atau Wakil Presiden, mantan Presiden atau mantan Wakil Presiden, anggota lembaga negara, menteri atau pejabat setingkat menteri, kepala daerah, anggota dewan perwakilan rakyat daerah, kepala perwakilan diplomatik, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia yang meninggal dalam tugas, dan/atau warga negara Indonesia yang berjasa bagi bangsa dan negara.
(13) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (12) dipasang lurus memanjang pada peti atau usungan jenazah, bagian yang berwarna merah di atas sebelah kiri badan jenazah.
(14) Bendera Negara sebagai penutup peti atau usungan jenazah sebagaimana dimaksud pada ayat (13) setelah digunakan dapat diberikan kepada pihak keluarga.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penggunaan Bendera Negara
Pasal 13
(1) Bendera Negara dikibarkan dan/atau dipasang pada tiang yang besar dan tingginya seimbang dengan ukuran Bendera Negara.
(2) Bendera Negara yang dipasang pada tali diikatkan pada sisi dalam kibaran Bendera Negara.
(3) Bendera Negara yang dipasang pada dinding, dipasang membujur rata.
Pasal 14
(1) Bendera Negara dinaikkan atau diturunkan pada tiang secara perlahan-lahan, dengan khidmat, dan tidak menyentuh tanah.
(2) Bendera . . .
(2) Bendera Negara yang dikibarkan setengah tiang, dinaikkan hingga ke ujung tiang, dihentikan sebentar dan diturunkan tepat setengah tiang.
(3) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hendak diturunkan, dinaikkan terlebih dahulu hingga ujung tiang, dihentikan sebentar, kemudian diturunkan.
Pasal 15
(1) Pada waktu penaikan atau penurunan Bendera Negara, semua orang yang hadir memberi hormat dengan berdiri tegak dan khidmat sambil menghadapkan muka pada Bendera Negara sampai penaikan atau penurunan Bendera Negara selesai.
(2) Penaikan atau penurunan Bendera Negara sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat diiringi Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya.
Pasal 16
(1) Dalam hal Bendera Negara dikibarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), Bendera Negara ditempatkan di halaman depan, di tengah-tengah atau di sebelah kanan gedung atau kantor, rumah, satuan pendidikan, dan taman makam pahlawan.
(2) Dalam pertemuan atau rapat yang menggunakan
Bendera Negara:
a. apabila dipasang pada dinding, Bendera Negara
ditempatkan rata pada dinding di atas sebelah belakang pimpinan rapat;
b. apabila dipasang pada tiang, Bendera Negara
ditempatkan di sebelah kanan pimpinan rapat atau mimbar.
Pasal 17
(1) Dalam hal Bendera Negara dikibarkan atau dipasang secara berdampingan dengan bendera negara lain, ukuran bendera seimbang dan ukuran tiang bendera negara sama.
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikibarkan sebagai berikut:
a. apabila ada satu bendera negara lain, Bendera
Negara ditempatkan di sebelah kanan;
b. apabila . . .
b. apabila ada sejumlah bendera negara lain, semua bendera ditempatkan pada satu baris dengan kententuan:
1. jumlah semua bendera ganjil, Bendera Negara ditempatkan di tengah; dan
2. apabila jumlah semua bendera genap, Bendera
Negara ditempatkan di tengah sebelah kanan.
(3) Penempatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b dalam acara internasional yang dihadiri oleh kepala negara, wakil kepala negara, dan kepala pemerintahan dapat dilakukan menurut kebiasaan internasional.
(4) Penempatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berlaku untuk Bendera Negara yang dibawa bersama-sama dengan bendera negara lain dalam pawai atau defile.
Pasal 18
Dalam hal penandatanganan perjanjian internasional antara pejabat Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan pejabat negara lain, Bendera Negara ditempatkan dengan ketentuan:
a. apabila di belakang meja pimpinan dipasang dua bendera negara pada dua tiang, Bendera Negara ditempatkan di sebelah kanan dan bendera negara lain ditempatkan di sebelah kiri;
b. bendera meja dapat diletakkan di atas meja dengan sistem bersilang atau paralel.
Pasal 19
Dalam hal Bendera Negara dan bendera negara lain dipasang pada tiang yang bersilang, Bendera Negara ditempatkan di sebelah kanan dan tiangnya ditempatkan di depan tiang bendera negara lain.
Pasal 20
Dalam hal Bendera Negara yang berbentuk bendera meja dipasang bersama dengan bendera negara lain pada konferensi internasional, Bendera Negara ditempatkan di depan tempat duduk delegasi Republik Indonesia.
Pasal 21 . . .
(1) Dalam hal Bendera Negara dipasang bersama dengan bendera atau panji organisasi, Bendera Negara ditempatkan dengan ketentuan:
a. apabila ada sebuah bendera atau panji organisasi,
Bendera Negara dipasang di sebelah kanan;
b. apabila ada dua atau lebih bendera atau panji organisasi dipasang dalam satu baris, Bendera
Negara ditempatkan di depan baris bendera atau panji organisasi di posisi tengah;
c. apabila Bendera Negara dibawa dengan tiang bersama dengan bendera atau panji organisasi dalam pawai atau defile, Bendera Negara dibawa di depan rombongan; dan
d. Bendera Negara tidak dipasang bersilang dengan
bendera atau panji organisasi.
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibuat lebih besar dan dipasang lebih tinggi daripada
bendera atau panji organisasi.
Pasal 22
(1) Bendera Negara yang dipasang berderet pada tali sebagai hiasan, ukurannya dibuat sama besar dan disusun dengan urutan warna merah putih.
(2) Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dipasang berselingan dengan bendera organisasi atau bendera lain.
Pasal 23
Bendera Negara yang digunakan sebagai lencana dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.
Bagian Keempat
Larangan
Pasal 24
Setiap orang dilarang:
a. merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau
melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara;
b. memakai . . .
b. memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial;
c. mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam;
d. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara; dan
e. memakai Bendera Negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara.
BAB III BAHASA NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 25
(1) Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
(2) Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
(3) Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai bahasa resmi kenegaraan, pengantar pendidikan, komunikasi tingkat nasional, pengembangan kebudayaan nasional, transaksi dan dokumentasi niaga, serta sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan bahasa media massa.
Bagian Kedua
Penggunaan Bahasa Indonesia
Pasal 26
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 27 . . .
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam dokumen resmi negara.
Pasal 28
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pidato resmi Presiden, Wakil Presiden, dan pejabat negara yang lain yang disampaikan di dalam atau di luar negeri.
Pasal 29
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan sebagai bahasa pengantar dalam pendidikan nasional.
(2) Bahasa pengantar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa asing untuk tujuan yang mendukung kemampuan berbahasa asing peserta didik.
(3) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk satuan pendidikan asing atau satuan pendidikan khusus yang mendidik warga negara asing.
Pasal 30
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam pelayanan administrasi publik di instansi pemerintahan.
Pasal 31
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Pasal 32
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam forum yang bersifat nasional atau forum yang bersifat internasional di Indonesia.
(2) Bahasa Indonesia dapat digunakan dalam forum yang bersifat internasional di luar negeri.
Pasal 33 . . .
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam komunikasi resmi di lingkungan kerja pemerintah dan swasta.
(2) Pegawai di lingkungan kerja lembaga pemerintah dan swasta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum mampu berbahasa Indonesia wajib mengikuti atau diikutsertakan dalam pembelajaran untuk meraih kemampuan berbahasa Indonesia.
Pasal 34
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam laporan setiap lembaga atau perseorangan kepada instansi pemerintahan.
Pasal 35
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam penulisan karya ilmiah dan publikasi karya ilmiah di Indonesia.
(2) Penulisan dan publikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk tujuan atau bidang kajian khusus dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing.
Pasal 36
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nama geografi di Indonesia.
(2) Nama geografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya memiliki 1 (satu) nama resmi.
(3) Bahasa Indonesia wajib digunakan untuk nama bangunan atau gedung, jalan, apartemen atau permukiman, perkantoran, kompleks perdagangan, merek dagang, lembaga usaha, lembaga pendidikan, organisasi yang didirikan atau dimiliki oleh warga negara Indonesia atau badan hukum Indonesia.
(4) Penamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing apabila memiliki nilai sejarah, budaya, adat istiadat, dan/atau keagamaan.
Pasal 37
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi tentang produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia.
(2) Informasi . . .
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilengkapi dengan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan.
Pasal 38
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam rambu umum, penunjuk jalan, fasilitas umum, spanduk, dan alat informasi lain yang merupakan pelayanan umum.
(2) Penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai bahasa daerah dan/atau bahasa asing.
Pasal 39
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam informasi melalui media massa.
(2) Media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan bahasa daerah atau bahasa asing yang mempunyai tujuan khusus atau sasaran khusus.
Pasal 40
Ketentuan lebih lanjut mengenai penggunaan Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 39 diatur dalam Peraturan Presiden.
Bagian Ketiga
Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa Indonesia
Pasal 41
(1) Pemerintah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra Indonesia agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sesuai dengan perkembangan zaman.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 42 . . .
(1) Pemerintah daerah wajib mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.
(2) Pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan oleh pemerintah daerah di bawah koordinasi lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan, pembinaan, dan pelindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 43
(1) Pemerintah dapat memfasilitasi warga negara Indonesia yang ingin memiliki kompetensi berbahasa asing dalam rangka peningkatan daya saing bangsa.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitasi untuk meningkatkan kompetensi berbahasa asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia Menjadi Bahasa Internasional
Pasal 44
(1) Pemerintah meningkatkan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan.
(2) Peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasi oleh lembaga kebahasaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai peningkatan fungsi Bahasa Indonesia menjadi bahasa internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima . . .
Bagian Kelima
Lembaga Kebahasaan
Pasal 45
Lembaga kebahasaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 ayat (2), dan Pasal 44 ayat (2) dibentuk sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan dan bertanggung jawab kepada Menteri.
BAB IV LAMBANG NEGARA
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 46
Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia berbentuk Garuda Pancasila yang kepalanya menoleh lurus ke sebelah kanan, perisai berupa jantung yang digantung dengan rantai pada leher Garuda, dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditulis di atas pita yang dicengkeram oleh Garuda.
Pasal 47
(1) Garuda dengan perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 memiliki paruh, sayap, ekor, dan cakar yang mewujudkan lambang tenaga pembangunan.
(2) Garuda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki sayap yang masing-masing berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45.
Pasal 48
(1) Di tengah-tengah perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat sebuah garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa.
(2) Pada perisai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 terdapat lima buah ruang yang mewujudkan dasar Pancasila sebagai berikut:
a. dasar Ketuhanan Yang Maha Esa dilambangkan dengan cahaya di bagian tengah perisai berbentuk bintang yang bersudut lima;
b. dasar . . .
b. dasar Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dilambangkan dengan tali rantai bermata bulatan dan persegi di bagian kiri bawah perisai;
c. dasar Persatuan Indonesia dilambangkan dengan pohon beringin di bagian kiri atas perisai;
d. dasar Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan dilambangkan dengan kepala banteng di bagian kanan atas perisai; dan
e. dasar Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia dilambangkan dengan kapas dan padi di bagian kanan bawah perisai.
Pasal 49
Lambang Negara menggunakan warna pokok yang terdiri atas:
a. warna merah di bagian kanan atas dan kiri bawah perisai;
b. warna putih di bagian kiri atas dan kanan bawah perisai;
c. warna kuning emas untuk seluruh burung Garuda;
d. warna hitam di tengah-tengah perisai yang berbentuk jantung; dan
e. warna alam untuk seluruh gambar lambang.
Pasal 50
Bentuk, warna, dan perbandingan ukuran Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 sampai dengan Pasal
49 tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari
Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Penggunaan Lambang Negara
Pasal 51
Lambang Negara wajib digunakan di:
a. dalam gedung, kantor, atau ruang kelas satuan
pendidikan;
b. luar gedung atau kantor;
c. lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara;
d. paspor . . .
d. paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah;
e. uang logam dan uang kertas; atau f. materai.
Pasal 52
Lambang Negara dapat digunakan:
a. sebagai cap atau kop surat jabatan;
b. sebagai cap dinas untuk kantor;
c. pada kertas bermaterai;
d. pada surat dan lencana gelar pahlawan, tanda jasa, dan tanda kehormatan;
e. sebagai lencana atau atribut pejabat negara, pejabat pemerintah atau warga negara Indonesia yang sedang mengemban tugas negara di luar negeri;
f. dalam penyelenggaraan peristiwa resmi;
g. dalam buku dan majalah yang diterbitkan oleh
h. Pemerintah;
dalam buku kumpulan undang-undang; dan/atau
i. di rumah warga negara Indonesia.
Pasal 53
(1) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung, kantor atau ruang kelas satuan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dipasang pada:
a. gedung dan/atau kantor Presiden dan Wakil
Presiden;
b. gedung dan/atau kantor lembaga negara;
c. gedung dan/atau kantor instansi pemerintah; dan d. gedung dan/atau kantor lainnya.
(2) Penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b pada:
a. istana Presiden dan Wakil Presiden;
b. rumah jabatan Presiden dan Wakil Presiden;
c. gedung atau kantor dan rumah jabatan kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri; dan
d. rumah jabatan gubernur, bupati, walikota, dan camat.
(3) Penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a dan di luar gedung atau kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf b diletakkan pada tempat tertentu.
(4) Penggunaan . . .
(4) Penggunaan Lambang Negara pada lembaran negara, tambahan lembaran negara, berita negara, dan tambahan berita negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf c diletakkan di bagian tengah atas halaman pertama dokumen.
(5) Penggunaan Lambang Negara pada paspor, ijazah, dan dokumen resmi yang diterbitkan pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf d diletakkan di bagian tengah halaman dokumen.
Pasal 54
(1) Lambang Negara sebagai cap atau kop surat jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf a digunakan oleh:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang.
(2) Penggunaan Lambang Negara sebagai cap dinas untuk kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf b digunakan untuk kantor:
a. Presiden dan Wakil Presiden;
b. Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Dewan Perwakilan Rakyat;
d. Dewan Perwakilan Daerah;
e. Mahkamah Agung dan badan peradilan;
f. Badan Pemeriksa Keuangan;
g. menteri dan pejabat setingkat menteri;
h. kepala . . .
h. kepala perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh, konsul jenderal, konsul, dan kuasa usaha tetap, konsul jenderal kehormatan, dan konsul kehormatan;
i. gubernur, bupati atau walikota;
j. notaris; dan
k. pejabat negara lainnya yang ditentukan oleh undang- undang.
(3) Lambang Negara sebagai lencana atau atribut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf e dipasang pada pakaian di dada sebelah kiri.
(4) Lambang Negara yang digunakan dalam penyelenggaraan peristiwa resmi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf f dipasang pada gapura dan/atau bangunan lain yang pantas.
Pasal 55
(1) Dalam hal Lambang Negara ditempatkan bersama-sama dengan Bendera Negara, gambar Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden, penggunaannya diatur dengan ketentuan:
a. Lambang Negara ditempatkan di sebelah kiri dan lebih tinggi daripada Bendera Negara; dan
b. gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden ditempatkan sejajar dan dipasang lebih rendah daripada Lambang Negara.
(2) Dalam hal Bendera Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dipasang di dinding, Lambang Negara diletakkan di tengah atas antara gambar resmi Presiden dan/atau gambar Wakil Presiden.
Pasal 56
(1) Ukuran Lambang Negara disesuaikan dengan ukuran ruangan dan tempat sebagaimana tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
(2) Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dibuat dari bahan yang kuat.
Bagian Ketiga . . .
Bagian Ketiga
Larangan
Pasal 57
Setiap orang dilarang:
a. mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak
Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara;
b. menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
c. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; dan
d. menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
BAB V
LAGU KEBANGSAAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 58
(1) Lagu Kebangsaan adalah Indonesia Raya yang digubah oleh Wage Rudolf Supratman.
(2) Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Bagian Kedua
Penggunaan Lagu Kebangsaan
Pasal 59
(1) Lagu Kebangsaan wajib diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. untuk menghormati Presiden dan/atau Wakil
Presiden;
b. untuk . . .
b. untuk menghormati Bendera Negara pada waktu pengibaran atau penurunan Bendera Negara yang diadakan dalam upacara;
c. dalam acara resmi yang diselenggarakan oleh pemerintah;
d. dalam acara pembukaan sidang paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Daerah;
e. untuk menghormati kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat dalam kunjungan resmi;
f. dalam acara atau kegiatan olahraga internasional;
dan
g. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni internasional yang diselenggarakan di Indonesia.
(2) Lagu Kebangsaan dapat diperdengarkan dan/atau dinyanyikan:
a. sebagai pernyataan rasa kebangsaan;
b. dalam rangkaian program pendidikan dan pengajaran;
c. dalam acara resmi lainnya yang diselenggarakan oleh organisasi, partai politik, dan kelompok masyarakat lain; dan/atau
d. dalam acara ataupun kompetisi ilmu pengetahuan, teknologi dan seni internasional.
Bagian Ketiga
Tata Cara Penggunaan Lagu Kebangsaan
Pasal 60
(1) Lagu Kebangsaan dapat dinyanyikan dengan diiringi alat musik, tanpa diiringi alat musik, ataupun diperdengarkan secara instrumental.
(2) Lagu Kebangsaan yang diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu strofe, dengan satu kali ulangan pada refrein.
(3) Lagu . . .
(3) Lagu Kebangsaan yang tidak diiringi alat musik, dinyanyikan lengkap satu stanza pertama, dengan satu kali ulangan pada bait ketiga stanza pertama.
Pasal 61
Apabila Lagu Kebangsaan dinyanyikan lengkap tiga stanza, bait ketiga pada stanza kedua dan stanza ketiga dinyanyikan ulang satu kali.
Pasal 62
Setiap orang yang hadir pada saat Lagu Kebangsaan diperdengarkan dan/atau dinyanyikan, wajib berdiri tegak dengan sikap hormat.
Pasal 63
(1) Dalam hal Presiden atau Wakil Presiden Republik Indonesia menerima kunjungan kepala negara atau kepala pemerintahan negara lain, lagu kebangsaan negara lain diperdengarkan lebih dahulu, selanjutnya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
(2) Dalam hal Presiden Republik Indonesia menerima duta besar negara lain dalam upacara penyerahan surat kepercayaan, lagu kebangsaan negara lain diperdengarkan pada saat duta besar negara lain tiba, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya diperdengarkan pada saat duta besar negara lain akan meninggalkan istana.
Bagian Keempat
Larangan
Pasal 64
Setiap orang dilarang:
a. mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata- kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan;
b. memperdengarkan . . .
b. memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan dengan maksud untuk tujuan komersial; atau
c. menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan dengan maksud untuk tujuan komersial.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN WARGA NEGARA
Pasal 65
Warga Negara Indonesia berhak dan wajib memelihara, menjaga, dan menggunakan Bendera Negara, Bahasa Indonesia, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan untuk kehormatan dan kedaulatan bangsa dan negara sesuai dengan Undang-Undang ini.
BAB VII KETENTUAN PIDANA
Pasal 66
Setiap orang yang merusak, merobek, menginjak-injak, membakar, atau melakukan perbuatan lain dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 67
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk reklame atau iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 huruf b;
b. dengan . . .
b. dengan sengaja mengibarkan Bendera Negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf c;
c. mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apapun pada Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf d;
d. dengan sengaja memakai Bendera Negara untuk langit- langit, atap, pembungkus barang, dan tutup barang yang dapat menurunkan kehormatan Bendera Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e.
Pasal 68
Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari, atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 69
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah), setiap orang yang:
a. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara yang rusak dan tidak sesuai dengan bentuk, warna, dan perbandingan ukuran;
b. membuat lambang untuk perseorangan, partai politik, perkumpulan, organisasi dan/atau perusahaan yang sama atau menyerupai Lambang Negara; atau
c. dengan sengaja menggunakan Lambang Negara untuk keperluan selain yang diatur dalam Undang-Undang ini.
Pasal 70
Setiap orang yang mengubah Lagu Kebangsaan dengan nada, irama, kata-kata, dan gubahan lain dengan maksud untuk menghina atau merendahkan kehormatan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 71 . . .
Pasal 71
(1) Setiap orang yang dengan sengaja memperdengarkan, menyanyikan, ataupun menyebarluaskan hasil ubahan Lagu Kebangsaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
64 huruf b, dipidana dengan pidana penjara paling lama
1 (satu) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Ketentuan ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi setiap orang yang dengan sengaja menggunakan Lagu Kebangsaan untuk iklan komersial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 huruf c.
BAB VIII KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 72
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang mengatur bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB IX KETENTUAN PENUTUP
Pasal 73
Peraturan pelaksana yang diperlukan untuk melaksanakan Undang-Undang ini diselesaikan paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 74
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar . . .
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta pada tanggal 9 Juli 2009
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 9 Juli 2009
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2009 NOMOR 109
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat, ttd.
Wisnu Setiawan
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2009
TENTANG
BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN
I. Umum
Bendera Negara Sang Merah Putih, Bahasa Indonesia, Lambang Negara Garuda Pancasila, dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya merupakan jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keempat simbol tersebut menjadi cerminan kedaulatan negara di dalam tata pergaulan dengan negara-negara lain dan menjadi cerminan kemandirian dan eksistensi negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dengan demikian, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia bukan hanya sekadar merupakan pengakuan atas Indonesia sebagai bangsa dan negara, melainkan menjadi simbol atau lambang negara yang dihormati dan dibanggakan warga negara Indonesia. Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan Indonesia menjadi kekuatan yang sanggup menghimpun serpihan sejarah Nusantara yang beragam sebagai bangsa besar dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bahasa Indonesia bahkan cenderung berkembang menjadi bahasa perhubungan luas. Penggunaannya oleh bangsa lain yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu menjadi kebanggaan bangsa Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah mengatur berbagai hal yang menyangkut tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Dalam Pasal 35 disebutkan bahwa Bendera Negara Indonesia ialah Sang Merah Putih. Pasal 36 menyebutkan bahwa Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia. Pasal 36A menyebutkan bahwa Lambang Negara ialah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Selanjutnya Pasal 36B menyebutkan bahwa Lagu Kebangsaan ialah Indonesia Raya. Pasal-pasal tersebut merupakan pengakuan sekaligus penegasan secara resmi oleh Negara tentang penggunaan simbol-simbol tersebut sebagai jati diri bangsa dan identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seluruh bentuk simbol kedaulatan negara dan identitas nasional harus diatur dan dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Bendera . . .
Bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan hingga kini belum diatur secara lengkap dalam sebuah peraturan perundang- undangan. Pada saat Undang-Undang ini dibentuk, bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan Indonesia diatur dengan Peraturan Pemerintah yang merupakan produk hukum berdasarkan amanat Undang- Undang Dasar Sementara Republik Indonesia Tahun 1950. Secara parsial, bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan menurut kebutuhan isinya. Bahkan, pembinaan, pengembangan, dan pelindungan bahasa dan sastra hanya didasarkan pada hasil rumusan seminar politik bahasa nasional tahun 1974 dan tahun 1999, yang dikenal sebagai Politik Bahasa Nasional.
Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur tentang bendera, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, antara lain:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang hanya mengatur tentang kejahatan (tindak pidana) yang menggunakan Bendera Sang Merah Putih; penodaan terhadap bendera negara sahabat; penodaan terhadap Bendera Sang Merah Putih dan Lambang Negara Garuda Pancasila; serta pemakaian Bendera Sang Merah Putih oleh mereka yang tidak memiliki hak menggunakannya seperti terdapat pada Pasal
52a; Pasal 142a; Pasal 154a; dan Pasal 473.
2. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di sekolah (Lembaran Negara Tahun 1950 Nomor 550), Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1954 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1950 dari Republik Indonesia dahulu tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 550), Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1961 tentang Perguruan Tinggi (Lembaran Negara Tahun 1961
Nomor 302, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2361), Undang-
Undang Nomor 14 PRPS Tahun 1965 Nomor 80), Undang-Undang Nomor 19 PNPS Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 81), Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3390) jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 tentang Lambang Negara;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1958 tentang Bendera
Kebangsaan Republik Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1958 No.68);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1958 tentang Penggunaan
Bendera Kebangsaan Asing (Lembaran Negara Tahun 1958 No.69);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 1958 tentang Panji dan
Bendera Jabatan;
7. Peraturan . . .
7. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan
Lambang Negara;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan
Indonesia Raya; dan
9. Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 1990 tentang Ketentuan Keprotokolan Mengenai Tata Tempat, Tata Upacara, dan Tata Penghormatan.
Pengaturan perihal bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan dalam bentuk undang-undang sebagaimana diamanatkan Pasal 36C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu segera direalisasikan. Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan mampu mengatasi berbagai masalah yang terkait dengan praktik penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan yang selama ini masih berpedoman kepada peraturan perundang-undangan produk Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.
Undang-Undang tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan merupakan jaminan kepastian hukum, keselarasan, keserasian, standardisasi, dan ketertiban di dalam penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan. Undang-Undang ini mengatur tentang berbagai hal yang terkait dengan penetapan dan tata cara penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan, termasuk di dalamnya diatur tentang ketentuan pidana bagi siapa saja yang secara sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalam Undang-Undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1
Cukup jelas. Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan “asas persatuan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai sarana pemersatu bangsa dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “asas kedaulatan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan merupakan simbol yang menunjukkan kekuasaan tertinggi pada negara.
Huruf c . . .
Huruf c
Yang dimaksud dengan “asas kehormatan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan sebagai jati diri yang menunjukkan harga diri, dan kebesaran bangsa dan negara.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “asas kebangsaan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan sifat patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “asas kebhinnekatunggalikaan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan mencerminkan kesatuan dalam keberagaman penduduk, agama, suku, dan golongan, kondisi khusus daerah dan budaya bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “asas ketertiban” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat mewujudkan ketertiban dalam penggunaannya.
Huruf g
Yang dimaksud dengan “asas kepastian hukum” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus dapat memberikan kepastian hukum dalam penggunaannya.
Huruf h
Yang dimaksud dengan “asas keseimbangan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.
Huruf i
Yang dimaksud dengan “asas keserasian” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.
Huruf j . . .
Huruf j
Yang dimaksud dengan “asas keselarasan” adalah bahwa penggunaan bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan harus mencerminkan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya.
Pasal 3
Cukup jelas. Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “warna merah” adalah warna merah jernih yang secara digital mempunyai kadar MHB (Merah Hijau Biru) atau RGB (Red Green Blue): merah 255, hijau 0, dan biru 0. Warna merah telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan keberanian.
Yang dimaksud dengan “warna putih” adalah warna putih tanpa gradasi secara digital mempunyai kadar MHB: merah 255, hijau
255, dan biru 255. Warna putih telah lama dikenal dalam mitologi, kesusasteraan, dan sejarah Nusantara. Warna ini melambangkan kesucian.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “bahan yang berbeda” misalnya kertas, plastik, dan alumunium.
Yang dimaksud dengan ”ukuran yang berbeda” adalah besar kecilnya bendera.
Yang dimaksud dengan ”bentuk yang berbeda” adalah bentuk bendera yang tidak mengikuti bentuk persegi panjang dengan ukuran lebar 2/3 (dua-pertiga) dari panjang, misalnya bentuk segitiga, bujur sangkar, trapesium, jajaran genjang, dan lingkaran.
Pasal 5
Cukup jelas. Pasal 6
Yang dimaksud dengan “pengibaran” adalah penaikan dan penurunan bendera.
Pasal 7 . . .
Pasal 7
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dalam “keadaan tertentu” adalah:
a. keadaan mengobarkan semangat patriotisme membela tanah air;
b. keadaan menghormati kunjungan pemerintahan negara lain; kepala negara atau
c. darurat perang;
d. perlombaan olah raga;
e. renungan suci;
f. keadaan sangat bersuka cita; atau
g. keadaan sangat berduka cita.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah termasuk wilayah yurisdiksi alat transportasi udara, laut, dan darat milik pemerintah ataupun warga Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sedang di luar negeri.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Yang dimaksud dengan “hari-hari besar nasional di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia” antara lain:
a. tanggal 2 Mei, hari Pendidikan Nasional;
b. tanggal 20 Mei, hari Kebangkitan Nasional;
c. tanggal 1 Oktober, hari Kesaktian Pancasila;
d. tanggal 28 Oktober, hari Sumpah Pemuda;
e. tanggal 10 November, hari Pahlawan.
Yang dimaksud dengan “peristiwa lain” adalah peristiwa besar atau kejadian luar biasa yang dialami oleh bangsa Indonesia, misalnya kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke daerah dan pada perayaan dirgahayu daerah.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9 . . .
Pasal 9
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga negara” adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang- undangan.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Cukup jelas. Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Huruf o . . .
Huruf o
Yang dimaksud dengan “gedung atau kantor atau rumah jabatan lain” adalah gedung atau kantor atau rumah jabatan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Huruf p
Cukup jelas. Huruf q
Cukup jelas
Huruf r
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan penggunaan bendera pada kapal-kapal adalah sebagai tanda kehormatan untuk menyatakan kebangsaan dan identitas kapal-kapal tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 11
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b . . .
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dimaksud dengan “perayaan atau peristiwa lain” adalah perayaan atau peristiwa yang digunakan sebagai tanda pernyataan kebangsaan dan kegembiraan umum.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Pengibaran Bendera di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilakukan di halaman rumah seluruh warga negara Indonesia, kantor/gedung pemerintah maupun swasta, satuan pendidikan, dan seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia di luar negeri.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8) . . .
Ayat (8)
Cukup jelas. Ayat (9)
Cukup jelas. Ayat (10)
Cukup jelas. Ayat (11)
Cukup jelas. Ayat (12)
Cukup jelas. Ayat (13)
Cukup jelas. Ayat (14)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas. Pasal 14
Cukup jelas. Pasal 15
Cukup jelas. Pasal 16
Cukup jelas. Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “kebiasaan internasional” adalah segala sesuatu mengenai prosedur atau tata cara dalam praktek pergaulan internasional.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
Pasal 20
Cukup jelas. Pasal 21
Ayat (1) Huruf a
Yang dimaksud dengan “panji organisasi” termasuk panji kebesaran TNI dan POLRI.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “baris” adalah deretan bendera yang sejajar dengan satu baris.
Huruf c
Bendera Negara dibawa di depan rombongan pawai/defile untuk menghormati Bendera Negara.
Huruf d
Bendera Negara tidak disilangkan dengan panji organisasi karena tidak sederajat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas. Pasal 23
Cukup jelas. Pasal 24
Bendera Negara dalam ketentuan ini termasuk representasi Bendera
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (4).
Pasal 25
Cukup jelas. Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .
Yang dimaksud “dokumen resmi negara” adalah antara lain surat keputusan, surat berharga, ijazah, surat keterangan, surat identitas diri, akta jual beli, surat perjanjian, putusan pengadilan.
Pasal 28
Yang dimaksud dengan “pidato resmi” adalah pidato yang disampaikan dalam forum resmi oleh pejabat negara atau pemerintahan, kecuali forum resmi internasional di luar negeri yang menetapkan penggunaan bahasa tertentu.
Pasal 29
Cukup jelas. Pasal 30
Cukup jelas. Pasal 31
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perjanjian” adalah termasuk perjanjian internasional, yaitu setiap perjanjian di bidang hukum publik yang diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh pemerintah dan negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Perjanjian internasional ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa negara lain, dan/atau bahasa Inggris.
Khusus dalam perjanjian dengan organisasi internasional yang digunakan adalah bahasa-bahasa organisasi internasional.
Ayat (2)
Dalam perjanjian bilateral, naskah perjanjian ditulis dalam bahasa Indonesia, bahasa nasional negara lain tersebut, dan/atau bahasa Inggris, dan semua naskah itu sama aslinya.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud “bersifat nasional” adalah berskala antardaerah dan berdampak nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud “bersifat internasional” adalah berskala antarbangsa dan berdampak internasional.
Pasal 33
Yang dimaksud dengan “lingkungan kerja swasta” adalah mencakup perusahaan yang berbadan hukum Indonesia dan perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia.
Pasal 34 . . .
Pasal 36
Cukup jelas. Pasal 37
Cukup jelas. Pasal 38
Cukup jelas. Pasal 39
Cukup jelas. Pasal 40
Cukup jelas. Pasal 41
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengembangan bahasa” adalah upaya memodernkan bahasa melalui pemerkayaan kosakata, pemantapan dan pembakuan sistem bahasa, pengembangan laras bahasa, serta mengupayakan peningkatan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa internasional.
Yang dimaksud dengan “pembinaan bahasa” adalah upaya meningkatkan mutu penggunaan bahasa melalui pembelajaran bahasa di semua jenis dan jenjang pendidikan serta pemasyarakatan bahasa ke berbagai lapisan masyarakat. Selain itu, pembinaan bahasa juga dimaksudkan untuk meningkatkan kedisiplinan, keteladanan, dan sikap positif masyarakat terhadap bahasa Indonesia.
Yang dimaksud dengan “pelindungan bahasa” adalah upaya menjaga dan memelihara kelestarian bahasa melalui penelitian, pengembangan, pembinaan, dan pengajarannya.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 42 . . .
Cukup jelas. Pasal 43
Cukup jelas. Pasal 44
Yang dimaksud “bahasa internasional” adalah bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi antarbangsa.
Pasal 45
Cukup jelas. Pasal 46
Yang dimaksud dengan “Garuda Pancasila” adalah lambang berupa burung garuda yang sudah dikenal melalui mitologi kuno yaitu burung yang menyerupai burung elang rajawali.
Garuda digunakan sebagai Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk menggambarkan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar dan negara yang kuat.
Yang dimaksud dengan “perisai” adalah tameng yang telah dikenal lama dalam kebudayaan dan peradaban asli Indonesia sebagai bagian senjata yang melambangkan perjuangan dan perlindungan diri untuk mencapai tujuan.
Yang dimaksud dengan “semboyan Bhinneka Tunggal Ika” adalah pepatah lama yang pernah dipakai oleh pujangga ternama Mpu Tantular. Kata bhinneka merupakan gabungan dua kata: bhinna dan ika diartikan berbeda-beda tetapi tetap satu dan kata tunggal ika diartikan bahwa di antara pusparagam bangsa Indonesia adalah satu kesatuan. Semboyan ini digunakan menggambarkan persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 47
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “sayap garuda berbulu 17, ekor berbulu 8, pangkal ekor berbulu 19, dan leher berbulu 45” adalah lambang tanggal 17 Agustus 1945 yang merupakan waktu pengumandangan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Pasal 48 . . .
Pasal 48
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “garis hitam tebal yang melukiskan katulistiwa” adalah garis untuk melambangkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara merdeka dan berdaulat yang dilintasi garis katulistiwa.
Ayat (2) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Mata rantai bulat yang berjumlah 9 melambangkan unsur perempuan, mata rantai persegi yang berjumlah 8 melambangkan unsur laki-laki. Ketujuh belas mata rantai itu sambung menyambung tidak terputus yang melambangkan unsur generasi penerus yang turun temurun.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Kedua tumbuhan kapas dan padi sesuai dengan hymne yang menempatkan pakaian (sandang) dan makanan (pangan) sebagai simbol tujuan kemakmuran dan kesejahteraan.
Pasal 49
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan “warna kuning emas” adalah warna kuning keemasan secara digital memunyai kadar MHB: merah
255, hijau 255, dan biru 0. Warna kuning emas melambangkan
keagungan bangsa atau keluhuran Negara. Huruf d
Yang dimaksud dengan “warna hitam” adalah warna hitam yang secara digital mempunyai kadar MHB: merah 0, hijau 0, biru 0.
Warna . . .
Warna hitam menggambarkan siklus dan jalinan kehidupan umat manusia dari awal mula penciptaan hingga akhir kehidupan.
Huruf e
Yang dimaksud dengan “warna alam” adalah warna-warna yang menyerupai warna benda dan makhluk hidup yang ada di alam. Warna-warna itu menggambarkan semangat dan dinamika kehidupan di alam semesta ini.
Pasal 50
Cukup jelas. Pasal 51
Cukup jelas. Pasal 52
Cukup jelas. Pasal 53
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Lambang Negara di dalam gedung atau kantor” adalah untuk menunjukkan kewibawaan negara yang penggunaannya dibatasi hanya pada kantor dinas.
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Yang dimaksud dengan “lembaga negara” antara lain: Presiden dan Wakil Presiden, Menteri dan pejabat setingkat menteri, Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan.
Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Yang dimaksud dengan “gedung atau kantor lain” adalah gedung sekolah, kantor perusahaan swasta, organisasi dan lembaga-lembaga.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penggunaan Lambang Negara di luar gedung atau kantor” adalah penggunaan Lambang Negara sebagai lambang keistimewaan yang penggunaannya ditempatkan di muka sebelah luar pada rumah jabatan (ambtswoning) yang disediakan khusus untuk pejabat negara.
Ayat (3) . . .
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “tempat tertentu” adalah tempat yang pantas, menarik perhatian orang, mudah dilihat, dan tampak baik bagi pandangan mata semua orang yang datang dan berada di gedung atau kantor tersebut.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1) Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Yang dimaksud dengan “badan peradilan” antara lain
Mahkamah Konstitusi
Huruf f
Cukup jelas. Huruf g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf i
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas.
Ayat (2) . . .
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas. Pasal 56
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “Lambang Negara dibuat dari bahan yang kuat” adalah bahwa Lambang Negara harus dibuat dari bahan cor semen, metal, campuran besi atau campuran bahan lain yang liat dan kuat, sehingga bentuk Lambang Negara terlihat kokoh dan kuat, dapat digunakan untuk waktu yang lama, tidak mudah patah, hancur ataupun tidak cepat rusak.
Pasal 57
Cukup jelas. Pasal 58
Cukup jelas. Pasal 59
Cukup jelas. Pasal 60
Ayat (1)
Cukup Jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan ”strofe” adalah stanza dalam musik. Ayat (3)
Stanza dalam lagu Indonesia Raya terdiri atas tiga bait. Bait ketiga biasa dikenal dengan refrein.
Pasal 61 . . .
Pasal 61
Cukup jelas. Pasal 62
Yang dimaksud dengan ”berdiri tegak dengan sikap hormat” pada waktu lagu kebangsaan diperdengarkan/dinyanyikan adalah berdiri tegak di tempat masing-masing dengan sikap sempurna, meluruskan lengan ke bawah, mengepalkan telapak tangan, dan ibu jari menghadap ke depan merapat pada paha disertai pandangan lurus ke depan.
Pasal 63
Cukup jelas. Pasal 64
Yang dimaksud dengan “dilarang memperdengarkan atau menyanyikan Lagu Kebangsaan dengan nada-nada, irama, iringan, kata-kata dan gubahan-gubahan lain” adalah agar Lagu Kebangsaan tidak dinyanyikan secara sembarangan dan keluar dari derajat dan kedudukannya sebagai Lagu Kebangsaan. Sedangkan yang dimaksud dilarang memperdengarkan, menyanyikan, dan menggunakan Lagu Kebangsaan untuk bahan dan alat reklame dan/atau kegiatan komersial dalam bentuk apapun adalah agar Lagu Kebangsaan tidak digunakan untuk meraih keuntungan komersial tertentu yang melecehkan kedudukan Lagu Kebangsaan tersebut.
Pasal 65
Cukup jelas. Pasal 66
Cukup jelas. Pasal 67
Cukup jelas. Pasal 68
Cukup jelas. Pasal 69
Cukup jelas. Pasal 70
Cukup jelas. Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72 . . .
Pasal 72
Cukup jelas. Pasal 73
Cukup jelas. Pasal 74
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5035
LAMPIRAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 24 Tahun 2009
TANGGAL : 9 Juli 2009
Warna:
Warna Merah : MHB (RGB) : merah 255, hijau 000, dan biru 000
Warna Putih : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 255
Warna Kuning Emas : MHB (RGB) : merah 255, hijau 255, dan biru 000
Warna Hitam : MHB (RGB) : merah 000, hijau 000, dan biru 000
Perbandingan Ukuran: Jarak A – B = 12
Jarak C – D = 13 ½
Jarak E – F = 16
Jarak G –H = 15 ½
Jarak I – J = 17
LIRIK LAGU KEBANGSAAN INDONESIA RAYA
VERSI ASLI DENGAN TIGA STANZA
Stanza 1:
Indonesia Tanah Airkoe Tanah Toempah Darahkoe Di sanalah Akoe Berdiri Djadi Pandoe Iboekoe Indonesia Kebangsaankoe Bangsa Dan Tanah Airkoe Marilah Kita Berseroe Indonesia Bersatoe
Hidoeplah Tanahkoe Hidoeplah Negrikoe
Bangsakoe Ra'jatkoe Sem'wanja
Bangoenlah Djiwanja Bangoenlah Badannja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
Stanza 2:
Indonesia Tanah Jang Moelia Tanah Kita Jang Kaja Di sanalah Akoe Berdiri Oentoek Slama-Lamanja Indonesia Tanah Poesaka P'saka Kita Semoeanja Marilah Kita Mendo'a Indonesia Bahagia
Soeboerlah Tanahnja Soeboerlah Djiwanja
Bangsanja Ra'jatnja Sem'wanja Sadarlah Hatinja Sadarlah Boedinja Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
- 3 -
Stanza 3:
Indonesia Tanah Jang Seotji Tanah Kita Jang Sakti Di sanalah Akoe Berdiri 'Njaga Iboe Sedjati Indonesia Tanah Berseri Tanah Jang Akoe Sajangi Marilah Kita Berdjandji Indonesia Abadi
S'lamatlah Ra'jatnja S'lamatlah Poetranja
Poelaoenja Laoetnja Sem'wanja
Madjoelah Negrinja Madjoelah Pandoenja
Oentoek Indonesia Raja
(Reff: Diulang 2 kali, red)
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Tanahkoe Negrikoe Jang Koetjinta
Indonesia Raja Merdeka Merdeka Hidoeplah Indonesia Raja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar