Camar laut memecah suara angin dipagi buta. Gelombang membentur karang yang menyisakan buih-buih putih di pinggir kuala batu. Mentari sekarang berada di orbit timur memercikkan cahayanya di batang-batang bakau. Putri malu pun tak segan membuka kerudungnya, menampakkan celah-celah ujung daunnya menantang matahari.
Kampungku sekarang sudah terang. Petani dan nelayan memandang pohon-pohon yang ringkai pertanda kemarau akan segera tiba. Mereka menelusuri pematang sawah dan langgam kuala tiap pagi buta untuk mencari pengharapan agar mereka bertahan sedikit lagi. Kampung ini adalah sebuah kampong boat nelayan yang terpampang seibu jenis bendera kapal serba aneh, yang terpacak tegak dipucuk kapal. Pendidikan disini tak berlaku seperti yang tercantum di undang-undang dan pereturan yang telah apek mereka perdebatkan di dinas dan parlemen.
Kampung sunyi di pinggir pantai yang hanya memiliki 64 rumah kumuh serta satu unit SMP berdinding tepah dari sumbangan pedagang setempat. Hanya terdiri dari dua ruang kelas. Bangku-bangkunya sudah terlalu lapuk untuk jadi sanggahan pantat.
Anak petani yang tak punya seragam semua berbakti disini. Mereka tau arti pendidikan, mungkin terobsesi dari pedagang-pedagang yang bergelar dan bertitel yang mengunjungi kampong ini sebelum mereka menarik sauh untuk merantau lagi ke luar pulau.
Hanya seorang guru tua, renta dan cacat yang mau mengabdikan ilmu doktorandusnya di tanah nelayan ini. Disini kemauan anak manusia untuk sekolah sangat tinggi, tapi apa yang patut dibanggakan, hanya kemauan tanpa ada pengajar. Hanya guru tua yang muda ilmunya, guru cacat yang sempurna ilmu pengetahuannya. Hanya satu hal yang membuatnya melibatkan diri atas segi pendidikan ortodok semacam kampong ini.
Pengabdian yang jauh bernaluri disbanding ikut sertifikasi tanpa dedikasi. Gencarnya guru pencari gelar untuk menambah tunjangan merupakan hal lazim di kota. Apalagi pusat kota seperti Banda. Gelar terhadap guru selalu dijunjung tinggi walaupun tak sedikitpun materi yang patut dihargai.
*****
Pendidikan di negaaraku memang bagai ilalang yang dipenuhi embun sebagai pencuci batang tubuh dipagi hari.
“ ini harapan kita. Walaupun sekolah gubuk sumbangan pedagang. Disini mereka tanamkan harapan agar anak kampong ini menjadi berguna. Sraihlah cita-cita kalian demi secuil ilmu yang akan kalian bawa dari guru tua seperti bapak”
Kata lugas pak Wan Doyeng saat member ceramah singkat dipagi senin. Pak wan Doyeng tiba dikampung ini sekitar 12 tahun lalu. Seorang dokterandus pedagang kopra yang akhirnya memutuskan nikah dibawah bayangan matahari laut di kampong Boat ini. Orang bilang dia mandul hingga sampai sekaraang kami-lah anak-anak yang dia lahirkan dari pengetahuannya.
“ pak, apakah sekolah diluar sana sama seperti kampong kita? Yang hanya memiliki seorang guru dengan dua local?” Tanya Andi yang ayahnya sudah lama menghilang di laut karena badai kuat di selat malaka.
“ sama saja, anakku. Sekolah-sekolah memang berbeda. Tapi ilmu pengetahuannya sama. Hanya saja mereka lebih mementingkan tatanan gedung beertingkat serba elit. Walaupun hanya buang-buang duit”
Jawabnya singkat meluruskan pikiran kami yang selalu murung dan pesimis membayangkan pendidikan yang lebih tinggi diluar sana. Pendidikan yang diagungkan dengan intelektuaal serba adaa yang dibatasi keadilan daan perspektif jelek negeri ini.
*****
Pada tanggal 2 mei tahun ini, awan tampak mendung. Langit gelap terselubung, mungkin malu pada alam. Hari pendidikan yang terbayang telah ditunggu untuk mengobarkan semangat guru yang tak banyak tau akan segi yang luntur dari pendidikan negeri ini.
Kulihat bangau masih melipatkan kaki kirinya ditengah tambak yang kering. Ia bermalas-malasan mematuk ikan kecil di beecek-becek air.
Pak Wan dipagi ini hanya terdiam di depan SMP tua dua lokal yang masih dipayungi tutu wuri handayani, yang sisi bangunannya terlihat murung meretapi nasibnya yang begitu pedih. Pak wan melihat daari jengkal ke jengkal tiang yang hamper roboh dimakan usia. Terlihat ia memalingkan wajahnya kearah jalan raya yang baru dbangun beberapa bulan lalu. Tersirat tatapan sesal dan kecewa karena manusia lebih mementingkan jalan daripada sarana pendidikan yang suadah patut diperbaiki.
Jauh ditengah pusat kutaradja, para parlemen dan selir-selir dinas yang mengaku penegak pundi pendidikan, sedang terlena menyantap kudapan peringatan hari agung pendidikan. Protokoler berkoar-koar mengedepankan rancangan-rancangan kurikulum baru. Banyak di antara mereka yang tak tau dan tak mau tau apa itu kurikulum. Karena satu kurikulum yang mereka canangkan belum selesai, sedah capek-capek memikirkan kurikulum lain. Selalu ingin menyamai diri dengan Negara tetangga. Munafik.
Aku membayangkan pemerataan guru-guru yang telah sangat lama menjadi honorer seperti pak Wan Doyeng agar menjadi PNS.
“ Bagi guru-guru kita yang telah meengabdi tanpa pamrih begi negeri ini selama sepuluh tahun lebih. Dalam jangka waktu 2 bulan akan dikeluarkan SK sebagai bentuk kepedulian terhadap pendidikan”
Sejuat janji berlimpah ruah yang hanya berlaku di-Podium 2 mei tahun ini. Implementasi tak diyakinkan lagi. Anaknya, sepusunya, dan sanak familinya lah yang bisa melewati buku catatan putih dinas itu dengan sangat mulus, yang hanya mengabdikan diri setahun dua tahun di kota-kota besar.
Phuih….
Phuih….
Mengapa guru-guru seperti Pak Wan Doyeng tak terpilih menjadi PNS? Itulah yang sering menjadi momok memalukan bagi bangsaku. Terkesan sangat jelas kolusi dan nepotisme bergeming bebesa di atas kepala sang Garuda.
Aku telah banyak meracau tentang ini. Aku semakin salah. Sangat banyak kepala dinas dan bupati yang tak memikirkan sekolah dua lokal di kampungku, yang telah memilih mengasingkan diri dalam bui untuk menikmati pangkat tingginya.
*****
Pagi yang cerah. Hari ini kuala dipenuhi nelayang yang beru pulang melaut semalam suntuk. Burung camar hitam menyambut mereka dengan girang. Ada segumpalan ikan yang di tinggalkan nelayan, merupakan upah camar yang menemani dari tadi subuh.
Kami datang begutu cepat ke sekolah hari ini. Setelah semalam dibayangi dengan naskah matematiak yang harus diperankan di papan tulis pagi ini.
“ anak-anak, maafkan bapak hari ini tidak dapat menemani kalian. Ada surat panggilan dari dinas, yang harus bapak kunjungi hari ini”
Kata pak Wan pada tatap muka setelah apel pagi. Halangan bagi Pak Wan merupakan hari libur besar bagi kami. Betapa tidak, hanyaa dia yang merelakan ilmunya ditengah-tengah kehidupan anak nelayan miskin.
Kulihat tatapan Pak Wan terasa kosong. Seumpama ada yang membuat langkahnya sia-sia. Aku ingat, mungkin janji podium itu. memang setiap segi kehidupan ini bagaikan janji di sebuah podium yang tek pernah jelas asal-usulnya.
Dihidupkannya Honda kijang merah tua. Ditunggangi menuju kota dengan suara yang berdeengung tak karuan. Tatapan pedih meluapkan mimic mukanya yang tak semangat.
Akhh…
Aku tak yakin ia akan pulang dengan tawa. Tapi kami menunggu. Rindu akan ajarannya “ seisi dunia milik kita. Jangan anggap sia-sia selama kita punya nyawa dan tenaga untuk berusaha”
Pak Wan sudah tak terlihat. Ia melesat begitu cepat. Kami menunggu apa yang akan dibawakannya. Entahlah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar