Panggung berupa café wifi megah samping jalan raya. Ditengahnya diletakkan meja besar, lengkap dengan kursi dan menu makanan beserta softdrink. Rak minuman diletakkan di pojok kiri.
Seorang mahasiswa masuk dari arah kanan dengan tas ransel dipakai di depan.
Diki : ( duduk, mengeluarkan laptop). Hanya ini yang bisa kulakukan. Menggali informasi melalui wifi. Tak ada yang bisa kuharapkan di kampus, selain kurikulum-kurikulum lama yang kurang sedap jadi hidangan mahasiswa. Okelah kalau kami masih siswa. ( mengejek ke arah penonton).
Pelayan : “mau pesan apa bang?” kami menyediakan menu baru, kebab turki bang. Mau pesan yang lain juga ada. Tapi inilah menu favorit sekarang. (Membuka buku menu)
Diki : “ apa itu? Makanan itu mungkin tak layak masuk ke perutku. ( memegang perut). Lagipula aku tak suka orang turki. Aku pesan yang biasa saja untuk mengingat dan mengenang mbah marijan, kuku bima susu dan mie goreng. Janganlah kau tunjukkan buku itu lagi. ( menunjuk buku menu).
“aku tak tau apa isi menu itu. Semua Bahasa Inggris, apalah yang akan terjadi di negeri ini. Aku mau mie, salah tunjuk ntar di kasih bakpau. Hupf susahnya Bahasa sendiri tak dihargai.
Pelayan : “ ooo begitu? Kenapa nggak ponari sweat aja bang. ( berpaling dan pergi) dan perlu abang tau, semua harus serba british sekarang. Tak akan layak jual lagi jika hanya menggunakan bahasa kita. Walaupun hanya tau I dan YOU. hehehehe
Diki : apa kawan-kawan sudah keluar mata kuliah ANAKES ya? Tak enak dipandang hidung jika aku hanya duduk sendiri disini. (merogoh kantongnya mengambil HP, lalu menuju kedepan panggung)
“ Halooo…. Dimana? Cepatlah kalian kemari. Aku sudah stanby di Igo café. Kutunggu kalian ya? Aku ingin membicarakan masalah futsal kita. Segera kesini. Tinggalkan saja dosen itu di dalam. Assalamualaikum.
Dari arah kanan panggung masuk cowok berpakaian lengkap, pakek kemeja dan celana hitam. baru dua langkah dari pintu, langsung memusatkan mata ke Diki.
Mae : ya Nasib. Kenapa aku harus bertemu dia. Nasionalis sok apatis, deskriptif. Jika ia melihatku, bahan pembicaraannhya akan ia lampiaskan padaku. Padahal apalah kurangku? (memegang baju bagian bawah, menggaruk kepala lalu menuju ke samping rak minuman).
Diki : hai kawan. Janganlah terburu-buru engkau pergi. Bangku disebelahku masih kosong. (matanya melihat dari ujung rambut sampai kaki si Mae, tertawa). Tak ubahnya penampilanmu. Tapi tak apalah. Mungkin kau akan menjadi salah satu menteri di Kabinet Indonesia menggebu tahun depan. Sudah sangat banyak kulihat menteri-menteri sekarang yang lebih mengedepankan bahasa Inggris dari bahasa kebanggan kita. Kurasa kau mengerti Mae. Kau kan mahasiswa Bahasa Indonesia. Tapi tak apa lah.
Mae : aku masih sangat banyak tugas. Jadi tak sempat kubicarakan mengenai hal itu. Dan perlu kau perbaiki. Bahwa cabinet yang kau ucapkan itu salah. (meletakkan tas disamping Diki). Aku memang Mahasiswa Bahasa Indonesia. Tapi kau saja tak pernah menghargai bahasa itu.
Diki : tidakkah kau baca dipintu masuk yang bertuliskan “ IGO CAFÉ” ( menunjuk ke depan). Jadi disini tempat melepas kelelahan dengan menikmati kopi. Buka melanjutkan penderitaan yang kau terima di kampus. Kau belajar menganalisis kesalahan bahasa, kau analissi dulu kenapa semua enggan berbahasa negerinya sendiri. Apalagi kelayakan bahasa itu dipertaruhkan. Jangan hanya menganalisis saja, bahkan bahasa yang kau tuturkan sekarang sudah dilangkahi oleh bahasa asing boy. You know? Oa, kabinet itu memang menggebu sesaat, jadi jangan kau perdebatkan. Kau perhatikan saja pemimpin negeri ini berbahasa yang masih sangat jauh dari harapan. Bayangken, tekanken. Bukankah itu salah? Jadi apa lagi seorang petani dan nelayan. Kau pertimbangkan itu.
Mae : tapi tugas ini sangat penting. (mengeluarkan buku). Aku harus belajar Dik. Kau lihat kan semua ini? (membuka buku didepan Diki). Kenapa kau harus ambil pusing dengan bahasa yang kau ucapkan sekarang? Bukankah kau dianugerahkan bahasa itu sejak kau lahir. Biarlah bahasa ini bersaing dan mendapatkan tempat di hati penuturnya. Jika mereka meilih untuk melupakannya, biarkan mereka menghianati bangsanya sendiri.
Diki : Bang, Apa Mbah Marijan belum siap? Udah kering gigiku. (memanggil pelayan)
Pelayan : (hanya suara). Tunggu dulu Gam. Ini mie belum siap digoreng, elpijinya macet. Maklum 3 kilogram, buatan negeri sendiri. Untuk apa kalian bicarakan bahasa? Produk yang masuk ke negera kita saja semua dari luar dan menggunakan bahasa mereka. Mau tidak mau kita harus mengucapkan apa yang tertulis disitu. Seperti kubilang tadi. Layak jualnya itu tak ada.
Diki : Kau bilang, jangan hanya ketawa di belakang. (kembali mengambil HP)
Kenapa laama sekali kaliaan? Udah jam berapa ni? Apa belum keluar juga dia? Semoga ditambah umurnya sudah memberi kalian ilmu yang bermanfaat. Tapi semoga juga cepat pension karena mata kuliah itu tidak cocok dia pegang. Amin. Cepat ya. Ada si Mae disini. (menutup HP tanpa salam)
“ Ya Allah, lupa bilang salam. Ya sudahlah. Lagipula si Aris, sama juga seperti aku”. “ Bang, tolong olah lagu yang mantap. Kau kerjakan saja tugasmu. Aku tidak mau susah dengan tugas. (mengambil Koran dan membacanya)
Suasana hening, lagu mulai diputar. Hanya lagu itu yang terdengar. Sesekali Diki melirik suara lagu. Dari kanan masuk 3 orang temannya yang sudah lama ditunggu.
Kawan : Hai, Dik, Mae. Sudah lama kalian disini? Kami baru saja keluar ANAKUM dengan Pak Mantri. Dia terus-terusan berbicara tentang kecanggihan bahasa luar yang mampu menjadi Bahasa Internasional. Sungguh berbeda pandangannya dengan pakar-pakar bahasa. Entah dimana ia mendapan Sarjana Pendidikan itu.
Diki : kalian duduklah dulu, nanti saja dirumah kalian pikirkan lagi masalah kuliah tadi. (menutup setengah laptopnya yang telah dibuka). Kalian tau, itulah salah satu penyebab bahasa di negeri ini tak mau berkembang. Seorang dosen yang seharusnya mengajarkan cara menghargai dan melestarikan bahasa saja masih mau meremehkan bahasanya sendiri. Ini seharusnya tugas kalian untuk menjawabnya. Kalian kan mahasiswa bahasa? Berbeda denganku yang hanya tau sedikit tentang itu. Walaupun aku mahasiswa bahasa juga. hehehehehe
Rika : Belajar dengannya sangat sulit. Satu skripsi disuruh analisis. Bayangkan Dik! Kenapa kamu nggak masuk kuliah? Dia menanyakanmu tadi. ( memalingkan mata kearah pelayan).
“Bang, teh botol 3 ya” ( mengangkat tangan)
Pelayan : (hanya suara) Siiiip Dek.
Diki : Jika aku tidak masuk kuliah. Tolong katakan saja pada beliau bahwa aku sedang sibuk dengan kegiatanku. Suruh absen saja. Bukankah begitu? Apa lagi yang direpotkan. Lagipula setiap kali aku belajar, bertambah banyak kecamuk dalam pikiranku. Semenjak dosen-dosen itu mengeluarkan teori-teori. Sedangkan untuk belajar bahasa Aceh saja kita harus ke Belanda. Wajarkan ini terjadi? Kenapa bisa terjadi? Bisakah kalian yang masuk kuliah tadi memberikan jawabannya padaku?
Binita : aku tak bisa menjawab pertanyaanmu itu. Teori itu memang benar tapi penerapannya saja yang harus didukung. Setelah hampir sangat lama menjadi bahasa persatuan, bahasa di negeri ini memperlihatkan ciri-cirinya sebagai alat komunikasi yang mutlak diperlukan bangsanya. Bahasa ini telah membuktikan diri sebagai bahasa yang tahan uji. Bahasa ini juga telah menunjukkan identitas bangsa kita, Dik. Bahasa kita sangat berperan dalam mempersatukan belbagai suku bangsa yang beraneka adat dan budayanya. Dalam mengemban misinya, bahasa inilah yang harus terus berkembang seiring dengan keperluan dan perkembangan bangsa, walaupun ada perkembangan yang menggembirakan dan ada perkembangan yang menyedihkan dan membahayakan, Dualisme perkembangan ini memang merupakan dinamika dan konsekuensi bahasa yang hidup Tetapi, karena bahasa yang kau tuturkan sekarang sudah ditahkikkan sebagai bahasa yang berkedudukan tinggi oleh bangsa kita, ia harus dipupuk dan disemaikan dengan baik dan penuh tanggung jawab agar ia bisa benar-benar menjadi “cermin” bangsa ini.
Pelayan : maaf terlambat, ini pesanannya. ( meletakkan pesanannya di meja)
Diki : seperti kita pesan di Amerika ya, begitu lamanya. (mengambil mie dan makan)
Meli : biasalah, kan sudah ada. Makan tros. (marah)
Dari tadi kaliah sibuk dengan persoalahn bahasa. Adakah kaliah berpikir tugas yang diembankan itu yang harus kalian kerjakan.
Semua makan dengan suasana agak bisik-bisik, seolah membicarakan sesuatu. Diki sedang lahapnya makan mie.
Binita : Ya allah, kenapa kalian bisa santai? Aku susah banget ini. Semua mata kuliah ada tugas. Tolong lah. Mata kuliah ANAKES saja harus analisis skipsi. Bagaimana kita melakukannya (menangis, susah, gugup).
Diki : (Membanting meja, teriak)
Kenapa sih? Kenapa tak bisa kau bedakan antara kampus dan kantin? Aku pergi kesini dan mengajak kalian bukan untuk mendengar kesusahan gara-gara 3 SKS yang kalian terima tadi. Kau bilang sama dosen mu, jangan hanya masuk kuliah hari sabtu. Dan memberi tugas seenaknya untuk sabtu depan.dia hanya bisa menyuruh analisis, sedangkan materi yang diberikan tidak pernah ada tentang analisis. Hanya kebanggaan terhadap bahasa asing yang selalu kudengar dari tuturannya. Kau lantunkan kesusahanmu sama dia.
( air tumpah, di lap oleh Rika)
Kenapa kalian tidak berpikir? Dulu waksu SD kalian susah untuk masuk SMP, dari SMP kalian susah karena akan masuk SMA, dari SMA kalian susah mengikuti UAN untuk masuk Universitas. Bahkan di universitas kalian masih sibuk dan susah dengan tugas. Kapan waktu kalian untuk senang? Nantipun jikalau kalian jadi sarjana akan susah mencari kerja. Karena di negeri ini hanya orang icik yang akan menang. Sangat kusayangkan orang seperti kalian yang menjadi sisi burruk pengaruh guru, dosen dan tugas. ( geram dan marah)
Meli : janganlah kalian berrtengkar. (takut). Nggak malu kalian?
Seharusnya kalian merasa dewasa sedikit. Tanpa harus marah dan memaki dosen kalian disini.
Diki : Kau juga Mae. Bedakan tempat susah untuk belajar dan senang-senang. Malah kulihat kalian yang susah, tapi si Aris yang nggak pernah masuk kuliah yang dapat IP tertinggi. Kenapa? Karena oarang yang mengajari kalian ANAKES itu saudaranya. Bodoh. (melihat semua kawannya)
Mae : Tolonglah, jangan buat gaduh di sini. Sudah cukup aku melihat apaa yang kaliah debatkan tadi, nilai dari bahasa dan dosen kalian.
Rika : semua orang memandang kita. Hentikan. (berteriak). Ayo kita pulang.
Rasanya sudah tak enak lagi kita bertukar paham tentang tugas di kantin.
Diki : Biarkan mereka melihat orang malang seperti kalian yang tak mau hidup tenang. Pikirkan ujung nasib kalian. Bahasa, tugas, dan semua yang kalian utarakan itu hanya kan kalian bawa ke mimpi. Jangan hanya kuliah yang kau tau. Aku mahasiswa, sama seperti mereka yang melihat kita. Bukan tukang kuliah seperti kalian. Pulanglah saja. Biarkan aku yang bayar. ( menunjuk keluar)
Suasana hening
Diam sejenak. Diki mengurut keningnya. Lagu tikus-tikus kantor diputar.
Diki : (musik berhenti)
Begitulah. Kesusahan yang selalu dialami oleh tukang kuliah. Mungkin koruptor-koruptor yang ada sekarang adalah tukang kuliah yang selalu susah dulu dan bersenang-senang sekarang. Mereka tak bisa bedakan tempat dan ruang, kemanapun pergi hanya kuliah yang dipikir. Akhirnya dapat C atau D. Amin.
Ooooy, kau lihat Abdullah puteh, mantan Gubernur kita itu yang baru-baru ini Cumlaude di penjara. Dia tidak susah, bahkan dapat rekor muri dengan disertasinya. Sekarang mari kita berpikir ala aktivis, mungkinkah seorang tahanan yang tak pernah keluar penjara bisa menyelasaikan disertasi? Dengan penelitian diluar penjara? Bombing disertasi, mau print disertasi dimana? Tapi toh dia gak pernah marah sama kawannya hanya karena itu. Sekarang tanyakan sama diri kalian. Apakah kalian berani berkata pada dosen agar mengerti?
Semoga kalian tak seperti kawanku. Semoga saja. Biarkan dosen kita yang tak faham, member i tugas sebanyak-banyaknya. Jika tak sanggup kerjakan, maka tinggalkan dulu. Mungkin begitu lebih cocok.
(keluar dan tersenyum)
BIODATA
Nama : Azrul Rizki
NIM : 0806102010042
TTL : Jangka Alue.U, 27 September 1990
Alamat : jln. Rukoh Utama. Wisma Kompas. Darussalam, Banda Aceh. Kode pos 23111
Studi : Universitas Syiah Kuala.
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
Aktif sebagai ketua himpunan di Gelanggang Mahasiswa Sastra Indonesia
No Hp : 085277143936
Tidak ada komentar:
Posting Komentar